METROPOLITAN - Rendahnya skor membaca murid Indonesia dalam hasil asesmen PISA 2018 menjadi salah satu catatan penting bagi dunia pendidikan nasional di 2019. Tidak adanya program dan gerakan literasi yang baik, disebut-sebut sebagai salah satu penyebabnya. Ketua Kampus Guru Cikal, Bukik Setiawan mengatakan, sistem pendidikan yang baik seharusnya bertanggung jawab mengembangkan literasi murid, tanpa perlu program atau gerakan literasi. Namun, Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang digiatkan Kemendikbud sejak 2016 tidak membuahkan hasil. "Jadi Kemendikbud pada saat itu mengadopsi gerakan dan praktik baik literasi yang telah dilakukan sejumlah penggiat literasi. Tantangan muncul ketika sesuatu yang dilakukan berdasarkan inisiatif mandiri masyarakat bisa berjalan baik, tapi ketika diadopsi justru jadi melempem, bukannya semakin menguat," kata Bukik. Menurutnya, sekolah dan guru juga belum banyak yang sadar akan pentingnya literasi, perkiraannya baru sekitar 20 persen. Kemendikbud pun disebut belum memiliki indikator yang jelas untuk mengukur tingkat sadar literasi di sekolah. "Minat membaca guru-guru juga berpengaruh. Minat membaca ini yang kemudian diintegrasikan dengan strategi pengajaran," kata Bukik. Dia berpendapat, setidaknya ada empat indikator literasi di sekolah. Pertama, adanya strategi pengajaran yang melibatkan murid dalam menentukan tujuan, cara, dan evaluasi belajar. Kedua, literasi menjadi kompetensi yang menjadi tujuan belajar semua guru, bukan hanya guru bahasa dan matematika. Ketiga, adanya forum guru berbagi praktik baik pengajaran yang menunjang pengembangan literasi. Dan keempat, adanya asesmen literasi dan numerasi yang diadakan sekolah secara mandiri untuk menjadi masukan dan perbaikan kualitas pengajaran. Terpisah, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengatakan, tingkat literasi suatu sekolah bisa dilihat dari perpustakaannya. Menurut dia, saat ini masih banyak sekolah yang tidak mempedulikan perpustakaan sebagai pusat literasi, padahal GLN yang digiatkan Kemendikbud berfokus pada sekolah. "Kita lihat saja, silakan masuk ke sekolah manapun, masuk di pusat literasinya itu kan di perpustakaan. Pasti perpustakaannya dengan koleksi buku-buku yang tidak menarik, syukur-syukur ada penjaganya, syukur-syukur ada lampunya. Karena banyak juga yang gelap gulita, nggak ada penjaganya, bahkan dikunci terus," kata Ubaid. Dia menambahkan selama ini juga belum ada gerakan literasi yang komprehensif antara yang diinisiasi oleh pihak sekolah dengan yang ada di lingkungan keluarga dan masyarakat. "Kalau di sekolah anak-anak itu diajari tentang konsep literasi, membaca. Lalu mereka dengan masyarakat yang tidak dididik dengan literasi, balik ke keluarga juga di keluarganya tidak dibudayakan dengan literasi, ya pembelajaran atau gerakan literasinya menjadi parsial," ucapnya. (val/els)