METROPOLITAN - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meluncurkan Program Merdeka Belajar Edisi Keenam tentang Transformasi Dana Pemerintah untuk Pendidikan Tinggi. Salah satunya adalah pendanaan melalui tingkat Indikator Kinerja Utama (IKU) yang terdiri dari delapan poin. Mendikbud, Nadiem Makarim, mengatakan, delapan poin itu merupakan penyederhanaan dari IKU sebelumnya. Sebab, perguruan tinggi tidak fokus pada pemenuhan indikator sebelumnya karena terlalu banyak. “Delapan IKU yang akan dimonitor dan diapresiasi dalam bentuk pendanaan oleh Kemendikbud. Kami sederhanakan dengan delapan IKU saja, ini yang kami maksud dengan indikator utama yang akan menghasilkan perubahan terbesar,” terangnya dalam webinar Peluncuran Merdeka Belajar Edisi 6, Selasa (3/11). Pertama, akan diukur dari sisi kualitas lulusan adalah apakah lulusan mendapat pekerjaan yang layak. Jadi, bukan hanya penyerapan di dunia kerja atau profesi apa yang dijalani, begitu juga dari sisi gaji. Kemudian, jumlah mahasiswa di universitas yang mendapat pengalaman di luar kampus, baik mengerjakan project based learning, magang, mengajar, riset, proyek sosial atau berwirausaha diluar lingkungan kampus. “Ketiga, berapa jumlah dosen yang punya pengalaman dan kelihatan di luar kampus. Pengalaman di industri, kampus lain, bagaimana pengalaman mereka dalam mencari perspektif baru, mencari pengalaman baru, dan experience baru,” tambahnya. Keempat adalah jumlah praktisi dari berbagai sektor yang diundang untuk mengajar di kampus. Poin ini merupakan salah satu bentuk link and match antara dunia usaha fan kampus. Lalu selanjutnya, riset yang dilakukan dosen dan bermanfaat bagi publik. “Keenam, adalah berapa prodi yang bekerjasama dengan mitra kelas dunia. Mitra itu bisa. Dari industri kelas dunia, Universitas kelas dunia, NGO (non government organization) atau multilateral kelas dunia. Semakin banyak prodi yang bermitra dengan berbagai sektor, semakin besar pernikahan masal yang terjadi, dan makin banyak manfaat untuk mahasiswa,” imbuh Nadiem. Berikutnya adalah aktivitas di dalam kelas. Yang diukur adalah berapa jumlah mata kuliah yang penilaiannya berbasis project based learning (PBL), kerja sama untuk menciptakan suatu portofolio atau proyek, atau menciptakan penemuan. Poin ini yang terpenting, karena dia tidak menginginkan hanya belajar teori dalam kelas dan di akhir semester akan di tes. Hal itu kata dia tidak bisa meningkatkan kualitas SDM. “Kita ingin matkul (mata kuliah, red) yang bobot penilaiannya itu berat di PBL, di mana mahasiswa bukan hanya belajar dari dosen, tapi juga dari kerja sama dan kolaborasi. Juga penilaian yang berbasis case method atau berbasis partisipasi murid-murid di dalam kelas itu, sehingga terjadi perdebatan dan interaksi yang menjadi nilai nantinya,” ucapnya. Terakhir, yakni berapa prodi yang punya standar internasional. Selain itu, ia berpesan bagi para rektor dan dosen harus memikirkan apa yang sebenarnya diinginkan Kemendikbud dari penerapan ini. “Delapan IKU ini akan menjelaskan arah perubahan tersebut. Apa yang ingin kita inginkan, apa langkah-langkah yang harus dikerjakan dan pelajari delapan IKU, ini akan jadi pedoman perubahan tiap perguruan tinggi dan akan ada apresiasi dalam bentuk pendanaan terhadap pencapaian IKU ini,” terangnya. Bagi PTN yang berhasil meningkatkan IKU untuk mencapai target, akan diberi tambahan pendanaan pada 2021. Alokasi dasar untuk PTN ini akan meningkat sebesar Rp800 miliar dan bonus sebesar Rp500 miliar untuk PTN yang berhasil meningkatkan capaian IKU terbanyak dan mencapai target yang ditetapkan Kemendikbud. (jp/feb/py)