METROPOLITAN - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, memaparkan bahwa hasil refocusing anggaran pendidikan yang telah dilakukan sepanjang 2021 pada rapat kerja bersama Komisi X DPR RI, Senin (23/8). Salah satu poin utama yang disampaikan adalah bantuan kuota internet yang akan disalurkan pada semester dua 2021. “Pada September, Oktober dan November, bantuan kuota yang akan disalurkan sebesar Rp2,3 triliun,” tuturnya pada rapat kerja yang digelar secara langsung di gedung DPR RI, Jakarta. Nadiem menyebutkan, besar bantuan kuota internet masing-masing untuk PAUD sebesar 7 GB/bulan, sekolah dasar menengah 10 GB/bulan, pendidik PAUD dan guru 12 GB/bulan serta mahasiswa dan dosen 15 GB/bulan. Dari sisi penggunaan, bantuan kuota dibuat lebih fleksibel dengan kuota umum, kecuali aplikasi yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan. Data kuota internet ini dijadwalkan untuk disalurkan mulai 11 sampai 15 September, kemudian 11 dan 15 Oktober dan ketiga kalinya 11 dan 15 November. Kuota berlaku untuk 30 hari sejak diterima. “Jadi, walaupun kita sudah membuka sekolah, ini akan menjadi transisinya, di mana kalau PTM terbatas 50 persen dari waktunya itu di rumah, sehingga bantuan ini masih relevan bahkan dalam PTM terbatas di masa transisi,” jelas Menteri Nadiem. Anggota Komisi X DPR RI, My Esti Wijayati, dari Fraksi PDI Perjuangan dapil DI Jogjakarta menyikapi bantuan kuota internet yang disalurkan agar dapat dihitung sesuai penggunaan. Usulan ini untuk meminimalisasi potensi anggaran yang terbuang akibat banyaknya kuota yang tidak terpakai. Menjawab hal tersebut, Nadiem menjelaskan, setiap kali bantuan kuota internet dikeluarkan, selalu ada perbaikan mekanisme. Ada dua hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi potensi kuota yang tidak terpakai, yaitu pindah ke kuota umum dan menyortir pengguna yang tidak aktif di ronde pertama untuk dikeluarkan dari daftar. “Karena dulu yang hanya kuota belajar menyisakan kuota lebih banyak,” katanya. Untuk pembayaran sesuai penggunaan, Menteri Nadiem menegaskan bahwa hal tersebut tidak dapat dilakukan. Karena untuk mendapatkan harga yang lebih murah, pembelian yang dilakukan harus dalam volume besar. “Kalau kita membeli per penggunaan, tidak ada diskon. Jadi kalau kita membayar sesuatu yang tergaransi, volumenya besar,” tuturnya. Selain bantuan kuota internet, pada September 2021 Kemendikbudristek mengalokasikan Rp745 miliar untuk membantu mahasiswa yang terdampak Covid-19. Bantuan UKT diberikan at cost maksimal sebesar Rp2,4 juta. Apabila UKT yang ditetapkan lebih besar dari Rp2,4 juta, selisihnya menjadi kebijakan perguruan tinggi masing masing. Adapun sasaran bantuan UKT adalah mahasiswa yang aktif kuliah dan bukan penerima KIP atau Bidikmisi, dan memerlukan bantuan UKT pada semester ganjil 2021. “Ini yang mana kita mau pastikan jangan sampai hanya karena pandemi mahasiswa tidak bisa melanjutkan sekolah. Mekanisme pendataan tentunya setiap universitas harus melakukan pendaftaran. Pimpinan perguruan tinggi ini mengajukan penerimaan bantuan UKT ke Kemendikbudristek. Jadi, bantuan UKT kita salurkan langsung ke perguruan tinggi masing–masing,” katanya. Sementara itu, Wakil Fraksi PDI Perjuangan dapil DKI Jakarta, Putra Nababan, mengusulkan agar sistem UKT dibuat lebih rapi dan ada sosialisasi yang masif ke perguruan tinggi. Sebab, dari masukan yang ia terima, ada perguruan tinggi yang enggan melakukan verifikasi penerima UKT. Menjawab hal tersebut, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi, Nizam, menyampaikan, penyaluran UKT semester pertama 2021 dialokasikan sebanyak 60 persen penerima berasal dari Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan 40 persen PTN. Namun realitanya, penerima dari PTS mencapai 72 persen dan 28 persen lainnya berasal dari PTN. Hal ini disebabkan mekanisme penyaluran UKT dilakukan riil dari orang tua mahasiswa yang membutuhkan bantuan. “Syarat mendapatkan bantuan UKT itu adalah dipastikan orang tua yang tidak mampu dan dibuktikan oleh pernyataan orang tua dibuktikan RT dan kelurahan,” pungkasnya. (jp/feb/py)