METROPOLITAN – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) berusaha memperkuat peranan Satuan Pengawas Intern (SPI) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sebab, mereka memiliki tugas untuk mencegah terjadinya praktik korupsi maupun kekerasan seksual. Inspektur Jenderal Kemendikbudristek, Chatarina Muliana Girsang, mengatakan, kekerasan seksual masuk tiga dosa besar pendidikan. Hal ini masih menjadi tantangan dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia. Selain itu, ada juga perundungan dan intoleransi. “Hal ini masih menjadi tantangan besar bagi kita, karena sebagaimana kejahatan khusus lainnya, kekerasan seksual sebagai kejahatan fenomena gunung es, di mana yang dilaporkan jauh lebih sedikit,” kata Chatarina kepada wartawan, Kamis (31/3). Kekerasan seksual dinilai akan menghambat terwujudnya pelaksanaan program strategis Kampus Merdeka. Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi sejak September 2021 menjadi pemicu keberanian para korban dan warga kampus yang selama ini diam untuk melaporkan kejadian yang pernah mereka alami atau yang mereka ketahui. “Kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan kekerasan seksual di satuan pendidikan mulai PAUD, SD, SMP dan SMA/SMK. Sehingga perlu pemahaman yang holistik dalam pencegahan dan penanganan. Penanganan yang dilakukan oleh kampus dan proses APH harus mampu mencegah kejadian berikutnya dan memberikan keberpihakan kepada korban,” jelas Chatarina. Sementara itu, Ketua forum SPI PTN, Andi Idkhan, menyampaikan, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 menjadi awal terbentuknya satuan tugas (satgas) yang bertugas menindaklanjuti kasus kekerasan seksual yang terjadi pada lingkungan PTN. (jp/feb/py)