Minggu, 21 Desember 2025

Komdigi Wacana Telepon Whatsapp Gunakan Internet Premium, Akademisi Unusia: Jangan Tambah Beban Rakyat

- Kamis, 7 Agustus 2025 | 14:18 WIB
Dosen Unusia, Handy Fernandy.  (Dok pribadi)
Dosen Unusia, Handy Fernandy. (Dok pribadi)

METROPOLITAN.ID - Wacana Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk mengkaji pembatasan akses layanan Voice over IP (VoIP) seperti WhatsApp Call hanya melalui paket internet premium, menuai sorotan tajam dari publik.

‎Sejumlah pihak menilai langkah itu berisiko memperlebar jurang digital, khususnya bagi masyarakat menengah ke bawah yang selama ini mengandalkan layanan komunikasi daring secara gratis.

‎Dosen Sistem Informasi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Handy Fernandy, termasuk salah satu yang angkat bicara. Ia menilai wacana tersebut kontraproduktif dengan semangat pemerataan akses teknologi di Indonesia.

‎"Dalam situasi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya, pemerintah justru semestinya hadir sebagai pelindung, bukan menambah beban baru lewat tarif layanan digital," ujarnya saat dikonfirmasi, Kamis 6 Agustus 2025.

‎Handy yang juga menjabat sebagai Ketua Lembaga Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN NU) Kota Depok itu menilai, ketimbang mengatur pembatasan, Komdigi seharusnya lebih fokus pada perluasan akses internet, khususnya di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).

‎"Sudah lebih dari delapan dekade Indonesia merdeka, tapi masih banyak warga yang kesulitan sinyal. Pemerataan akses digital mestinya jadi prioritas, bukan malah menutup ruang komunikasi publik,” katanya.

‎Wacana pembatasan ini mencuat usai sejumlah asosiasi, seperti Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) dan Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), menyuarakan keprihatinan atas dominasi layanan over-the-top (OTT) seperti WhatsApp yang dinilai ‘menumpang’ infrastruktur operator tanpa kontribusi yang sepadan.

‎Namun, Handy menilai logika tersebut tak semestinya dibebankan pada pengguna akhir.

‎Tak hanya soal tarif, ia juga menyinggung persoalan keamanan siber yang dinilainya belum tertangani serius. Maraknya kasus penipuan digital, pinjaman online ilegal, hingga judi daring disebutnya sebagai ancaman nyata yang lebih mendesak.

‎“Hampir tiap hari kita dengar korban pinjol atau kejahatan digital lainnya. Tapi belum ada langkah tegas dan menyeluruh dari pemerintah. Ini seharusnya jadi fokus utama Komdigi,” tandasnya.

‎Berbagai lembaga advokasi konsumen pun mulai menyuarakan kekhawatiran yang sama. Mereka mendesak Komdigi agar mengedepankan kepentingan publik dan asas keadilan digital dalam setiap penyusunan kebijakan nasional. (Ali)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X