METROPOLITAN.ID - Hujan lebat yang mengguyur Sukabumi dalam dua hari terakhir kembali memicu banjir dan longsor di sejumlah titik. Fenomena ini disebut sebagai siklus tahunan yang tak kunjung mendapat penanganan tuntas.
Pengamat lingkungan Sukabumi, Ari Igo Amos menilai persoalan utama berada pada menurunnya kemampuan tanah menyerap air, diperparah buruknya sistem drainase dan minimnya kedisiplinan masyarakat menjaga lingkungan.
“Kita seperti mengulang bencana yang sama setiap tahun. Drainase tidak lagi mampu menampung air, saluran irigasi dangkal, dan jaringan resapan tanah sudah rusak,” ujar Ari saat diwawancarai wartawan, Sabtu, 6 Desember 2025.
Menurutnya, penghijauan saja tidak cukup menahan laju air, terlebih curah hujan hanya mampu diserap sekitar 5–10 persen.
Ari menduga kerusakan jaringan bawah tanah bersifat struktural dan membutuhkan waktu puluhan tahun untuk pulih.
“Kalau pun diperbaiki hari ini, hasilnya baru terlihat sekitar 30 tahun ke depan. Kerusakan ini sudah lama berlangsung,” tegasnya.
Ia merekomendasikan rehabilitasi kawasan hutan dan penanaman vegetasi yang efektif menyerap air seperti Vetiver Grass atau rumput akar wangi.
Rumput tersebut dinilai mampu menahan erosi, menjaga kelembapan tanah, serta bertahan pada rentang suhu ekstrem.
Untuk penanganan cepat, Ari menyarankan pemerintah melakukan normalisasi dan peningkatan kapasitas drainase, disertai pemeliharaan berkala.
Pada jangka panjang, ia menilai perlu penguatan resapan air melalui pembuatan biopori, perkerasan permeabel, hingga pengembangan taman hujan.
“Perencanaan tata ruang harus tegas. Jangan korbankan lahan hijau demi investasi. Jika daerah resapan hilang, bencana hanya tinggal menunggu waktu,” katanya.
Ari juga menekankan pentingnya peran masyarakat. Ia menyebut sampah yang selalu muncul ketika banjir terjadi merupakan bukti persoalan lingkungan bukan hanya soal cuaca, tapi juga perilaku. (ms)