Senin, 22 Desember 2025

Tolak Gugatan Anies - Muhaimin, Ini 6 Pertimbangan MK Saat Putuskan Sengketa Pilpres 2024

- Senin, 22 April 2024 | 22:02 WIB
Suasana sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024, Senin (22/04) di Ruang Sidang MK.  (Foto Humas MKRI)
Suasana sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024, Senin (22/04) di Ruang Sidang MK. (Foto Humas MKRI)

MK menegaskan, dalam rangka perbaikan ke depan agar pengawasan Bawaslu memberi manfaat lebih untuk mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas, maka perlu dilakukan perubahan mendasar pengaturan tentang pengawasan pemilu, termasuk tata cara penindakannya jika terjadi pelanggaran pada setiap tahapan pemilu.

Menurut MK, Bawaslu harus masuk ke dalam substansi laporan atau temuan untuk membuktikan ada atau tidaknya secara substansial telah terjadi pelanggaran pemilu, termasuk dalam hal ini pemilihan kepala daerah (pilkada/pemilukada).

Artinya, bilamana perubahan dimaksud tidak dilakukan, hal demikian akan mengancam terwujudnya pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas.

Dengan adanya ancaman seperti itu, dapat menyebabkan Bawaslu kehilangan eksistensinya sebagai lembaga pengawas pemilu untuk mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas.

2. Keabsahan Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden

Mahkamah juga menyatakan tidak beralasan menurut hukum atas dalil Anies-Muhaimin yang menyatakan terjadi intervensi presiden dalam perubahan syarat pasangan calon dan dalil Pemohon berkenaan dengan dugaan ketidaknetralan KPU dalam memverifikasi dan menetapkan pasangan calon yang menguntungkan pasangan calon nomor urut 2.

Berdasar hal ini Anies-Muhaimin memohon agar Mahkamah membatalkan atau mendiskualifikasi Prabowo-Gibran.

Menurut Mahkamah, tindakan KPU yang langsung menerapkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tanpa mengubah Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 adalah tidak melanggar hukum.

Apabila KPU tidak langsung melaksanakan Putusan MK Nomor 90, justru akan mengganggu tahapan pelaksanaan pemilu dan berpotensi menciptakan pelanggaran hak konstitusional warga negara untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden.

Meskipun KPU selaku penyelenggara pemilu berkewajiban menerapkan putusan MK yang dapat memengaruhi norma berkenaan dengan proses pencalonan presiden dan wakil presiden tahun 2024, tetapi KPU juga terikat dengan jadwal dan tahapan yang telah ditetapkan.

Tenggat waktu pendaftaran pasangan calon sudah harus ditutup pada 25 Oktober 2023. Kendati demikian, seyogyanya KPU juga tetap mengupayakan perubahan PKPU termasuk berkonsultasi dengan DPR untuk melakukan penyesuaian syarat sebagaimana Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Hal tersebut kemudian berujung pada putusan DKPP Nomor 135, 136, 137, dan 141-PKE-DKPP/XII/2023 pada 5 Februari 2024 yang menyatakan tindakan KPU yang mendahulukan tindakan administratif merupakan pelanggaran kode etik karena tidak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu dan bertentangan dengan ketentuan peraturan KPU dan UU Pemilu.

Sebagai konsekuensinya, terjadi pelanggaran etik yang berujung pada penjatuhan sanksi peringatan keras dan sanksi peringatan keras terakhir terhadap komisioner KPU oleh DKPP.

Namun, substansi putusan mengenai dugaan pelanggaran etik tersebut tidak serta merta dapat dijadikan alasan bagi Mahkamah untuk membatalkan hasil verifikasi dan penetapan pasangan calon yang ditetapkan KPU.

DKPP hanya mempersoalkan tindakan KPU yang tidak segera menyusun rancangan perubahan PKPU Nomor 19 Tahun 2023 sebagai tindak lanjut Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, bukan mempersoalkan atau membatalkan pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Fadlya El'Arsya

Sumber: mkri.id

Tags

Terkini

X