Minggu, 21 Desember 2025

3 Hakim MK Beda Pendapat Soal Putusan Sengketa Pilpres 2024 yang Diajukan Anies - Muhaimin

- Senin, 22 April 2024 | 22:13 WIB
Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan pendapatnya yang berbeda dari 5 hakim lainnya. (Humas MKRI)
Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan pendapatnya yang berbeda dari 5 hakim lainnya. (Humas MKRI)

METROPOLITAN.ID - Pertama kali dalam sejarah, putusan dalam sengketa Pemilu diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstitusi.

Tiga Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan pendapat berbeda dalam Putusan Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024.

Saldi Isra menyatakan, seharusnya Mahkamah memerintahkan pelaksanaan pemungutan suara ulang di beberapa daerah sepanjang berkenaan dengan politisasi bansos dan mobilisasi aparat/aparatur negara/penyelenggara negara adalah beralasan menurut hukum.

Baca Juga: Tolak Gugatan Anies - Muhaimin, Ini 6 Pertimbangan MK Saat Putuskan Sengketa Pilpres 2024

“Seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah,” kata Saldi.

Hal yang sama juga disampaikan Enny Nurbaningsih. Menurut Enny, untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang karena diyakini telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos yang terjadi pada beberapa daerah.

Sementara, Arief Hidayat mengatakan, seharusnya Mahkamah memerintahkan KPU untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di daerah pemilihan Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara dalam waktu 60 hari.

Baca Juga: Dokter Rayendra Ambil Formulir Penjaringan Balon Wali Kota Bogor dari Partai Gerindra

Menurut Arief, seharusnya Mahkamah juga melarang adanya pembagian bansos sebelum dan pada saat pemungutan suara ulang.

Sementara itu, Ketua MK Suhartoyo mengatakan terdapat beberapa kelemahan dalam peraturan perundangan-undangan yang mengatur terkait dengan pemilihan umum dalam UU Pemilu, PKPU, maupun Peraturan Bawaslu sehingga pada akhirnya menimbulkan kebuntuan bagi penyelenggara pemilu, khususnya bagi Bawaslu dalam upaya penindakan terhadap pelanggaran pemilu.

LUU Pemilu belum memberikan pengaturan mengenai kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kampanye yang dilakukan sebelum dan setelah masa kampanye dimulai.

Baca Juga: Daftar Tempat Wisata Kuliner Murah dan Lezat di Semarang, Serbuuu Yuk!

Padahal Pasal 283 ayat (1) UU Pemilu telah menyebutkan larangan bagi pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta ASN untuk mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.

Namun, pasal-pasal berikutnya dalam UU Pemilu tersebut tidak memberikan pengaturan tentang kegiatan kampanye sebelum maupun setelah masa kampanye.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Fadlya El'Arsya

Sumber: mkri.id

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X