METROPOLITAN.ID - Saat publik ramai menyoroti gaya hidup mewah sebagian pejabat, nama Idham Chalid kembali mencuat.
Sosok yang pernah menjabat Ketua DPR/MPR RI periode 1971–1977 ini justru dikenang sebagai salah satu pejabat paling sederhana sepanjang sejarah Indonesia.
Sebuah unggahan akun @/goodrecom di platform X (Twitter) bahkan menjulukinya sebagai Ketua DPR termiskin. Bukan tanpa alasan, kisah hidup Idham Chalid memang jauh dari kemewahan, berbeda dengan stereotip pejabat tinggi yang kerap disorot karena fasilitas mewah.
"Ketua DPR TERMISKIN Bernama Idham Chalid Yang Jujur," demikian keterangan pada unggahan tersebut.
"Haramkan Fasilitas Negara untuk Keluarganya, Anaknya Hanya Berjualan Nasi-Air dan Pakai Metromini, Bahkan Setelah Pensiun Dia Kembali Jadi Guru Agama," demikian narasi dari akun @/goodrecom yang dikutip.
Baca Juga: Pengamanan Demo di DPR, Kapolda Metro Jaya Minta Gas Air Mata Dipakai Secara Terkendali
Idham Chalid dikenal teguh menjaga integritas. Ia tidak hanya berprinsip dalam menjalankan tugas sebagai pejabat, tetapi juga menanamkan etika tersebut dalam kehidupan keluarga. Sang istri pun mendapat pesan tegas agar tidak sembarangan menggunakan uang negara.
Kehidupan sehari-hari keluarga Idham jauh dari kemewahan. Anak-anaknya tidak menikmati fasilitas mentereng, melainkan hidup sebagaimana masyarakat kebanyakan.
Bahkan usai pensiun dari jabatan politik, Idham Chalid kembali mengabdikan dirinya sebagai guru agama, sebuah pilihan hidup yang langka bagi seorang pejabat tinggi.
Penghargaan atas jasanya dikenang hingga kini. Wajah Idham Chalid diabadikan dalam uang kertas pecahan Rp5.000 sejak emisi 2016, dan kembali hadir pada emisi 2022. Keputusan itu bukan tanpa alasan, ia bukan hanya tokoh politik, tetapi juga ulama besar, pendidik, dan pahlawan nasional yang pengaruhnya besar bagi bangsa.
Baca Juga: Salsa Erwina Ancam Gulingkan Ahmad Sahroni, Siap Cari Dukungan Internasional
Jejak Pendidikan dan Kiprah di NU
Idham Chalid lahir di Setui, Kalimantan Selatan, pada 27 Agustus 1922. Pendidikan awal ia tempuh di Sekolah Rakyat (SR) Amuntai, lalu di Madrasah Al Rasyidiyyah, hingga akhirnya melanjutkan ke Pondok Modern Gontor, Ponorogo.
Pada 1957, ia mendapat Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo, sebuah pengakuan internasional atas kiprahnya di bidang agama.