Dari situ makin tertarik di dunia politik, tapi saya tidak mau masuk partai politik. Artinya jalurnya di penyelenggara. Akhir 2013 saya daftar jadi komisioner KPU Kabupaten Bogor dan lolos. Alhamdulillah saya menjadi perempuan pertama di komisioner KPU sejak berdiri pada 2004. Jadi baru di periode ketiga ada komisioner perempuan pertama di KPU Kabupaten Bogor.
Apa tantangan terberat selama menjadi penyelenggara pemilu?
Banyak. Karena orang bilang teknis itu jantungnya pemilu, di situ ada tahapan dan tahapan pemungutan dan penghitungan suara. Ketika pencalonan, tidak sedikit godaan. Tapi balik lagi harus taat aturan. Di pilkada 2018 juga menjadi pilkada yang terpanas dibanding sebelumnya. Di pungut hitung juga punya tantangan dengan TPS yang mencapai 7635 dan luas gografis yang luar biasa.
Bagaimana membagi waktu dengan keluarga? Ketika di rumah saya menjadi seorang istri sekaligus ibu seperti pada umumnya. Yang penting itu komunikasi, Alhamdulillah keluarga mengerti posisi saya sebagai komisioner ketika di luar dan sebagai ibu rumah tangga ketika di rumah.
Ketika saya keluar rumah, urusan rumah saya pastikan sudah beres. Jadi saya tidak pernah meninggalkan rapat atau harus pulang tepat waktu karena alasan rumah tangga. Semua saya selesaikan dengan sebaik-baiknya.
Terakhir, apa cita-cita Anda sebagai penyelenggara pemilu?
Saya punya harapan besar tingkat kesadaran perempuan dalam berpolitik, khususnya di Kabupaten Bogor meningkat. Tentunya dengan diiringi juga meningkatnya kesadaran perempuan untuk aktif sebagai penyelenggara di tingkat KPU, PPK, PPS sampai ke KPPS.
Peran perempuan di penyelenggara belum maksimal. Terbukti di PPK saja kantung perempuannya belum terisi penuh. Dari 40 PPK, perempuan yang menempati posisi ketua cuma satu yaitu di Nanggung. Kalau anggota di beberapa kecamatan ada, walaupun nggak lengkap.
Perempuan jangan cuma diposisi sebagai pelengkap. Partisipasi perempuan harus meningkat. Entah sebagai peserta pemilu seperti mencalonkan diri, penyelengara maupun sebagai pemilih cerdas. (fin/d/rez)