Minggu, 21 Desember 2025

Pemerintah Indonesia dinilai gagap sikapi transportasi berbasis IT

- Rabu, 23 Maret 2016 | 10:28 WIB

METROPOLITAN.ID - Tiga pria berbaju batik biru membentangkan poster di bodi mobil taksi Blue Bird dengan nomor pintu MMM514. Sembari melaju pelan di jalur bus TransJakarta di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, taksi itu membuka pintu kanan agar salah seorang pria leluasa berdiri menjulurkan badan dari dalam kabin.

“Kami minta tutup (aplikasi transportasi) online. Harga mati!” seru salah seorang dari mereka.

Adegan itu merupakan sekelumit dari rangkaian demonstrasi sekitar 12.000 pengemudi taksi di Jakarta, pada Selasa (22/03) siang.

Demonstrasi tersebut, menurut Danang Parikesit selaku pengkaji pada lembaga Masyarakat Transportasi Indonesia, sebenarnya tak perlu terjadi apabila pemerintah mengambil sikap tegas dari jauh hari.Dia mengaku telah mengingatkan pemerintah sejak tahun lalu bahwa layanan transportasi berbasis teknologi informasi merupakan keniscayaan. Konsekuensinya, perlu regulasi yang jelas untuk mengaturnya.“Kita memang tergagap-gagap melihat situasi ini. Tinggal para pembantu presiden bisa mengakomodasi itu,” ujarnya kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.

Menurut Danang, Undang-Undang nomor 22 tahun 2009 memang tidak mengatur soal layanan transportasi berbasis internet. Jenis transportasi itu pun tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori taksi.

“Peraturan perundangan kita kan belum mengakomodasi wujud layanan seperti ini, di mana ada kontrak pribadi antara penyedia dan pengguna layanan yang difasilitasi media IT. Di Indonesia, kontrak pribadi diakui. Kalau Anda berjanji kepada orang lain dan orang lain menerima janji dengan imbalan harga, maka kontrak itu sah,” kata Danang.

Adapun perbedaan mendasar dengan taksi biasa ialah adanya kontrak publik yang melibatkan pemerintah sebagai penjamin.

“Cara penjaminannya bagaimana? Pemerintah memberikan peraturan tarif, peraturan standar pelayanan, peraturan mengenai perlindungan konsumen. Itu yang membedakan. Banyak orang mengira taksi biasa dan layanan transportasi berbasis internet sama saja. Padahal, secara fundamental, ini adalah dua hal yang berbeda. Antara saya berjanji dengan Anda dengan saya berjanji dengan Anda tapi dihadiri pemerintah yang mengawasi kontrak kita,” tutur Danang.

Perbedaan tersebut, imbuh Danang, merupakan hal yang penting tapi tidak dilihat pemerintah karena ketidakpekaan.

Persaingan yang adil

Presiden Direktur Blue Bird Group, Noni Purnomo, menepis anggapan bahwa ada pertempuran antara taksi konvensional dan layanan transportasi berbasis internet. Menurutnya, Blue Bird telah banyak melakukan proses sesuai peraturan serta banyak berinvestasi. Sedangkan, layanan transportasi berbasis online, tidak melakukan itu.

“Ini lebih kepada soal kesetaraan dalam berbisnis,” ujarnya.

Tapi Gojek menganggap persaingan taksi biasa dan angkutan berbasis internet bisa saja berlangsung adil.

“Tidak ada opsi lain selain bersaing bersama, harus co-exist dan harus secara fair. Itu adalah kewenangan pemerintah, bagaimana cara mengatur fairness,” kata Nadiem.

Dihadapkan pada dua tipe transportasi itu, pemerintah menyatakan bakal mengakomodasi dengan membuat peraturan yang jelas dalam waktu dekat.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Terkini

X