Minggu, 21 Desember 2025

Aku Anak Korban Perceraian Orang Tua (1)

- Sabtu, 3 Februari 2018 | 10:01 WIB

-

Aku yakin setiap manusia memiliki lembar kehidupan kelam dalam sejarah hidupnya. Dan begitu juga aku. Dipicu oleh kekecewaan terhadap perceraian orang tua, aku terjatuh dalam kubangan dosa dan derita. Meski saat ini aku sudah bekerja di Hong Kong, tapi masa`lalu yang suram itu ternyata sulit dilupakan.

Aku sungguh tak mengerti kenapa dulu bapak dan ibuku pisah ranjang dan memilih kembali ke orang tua masing-masing. Mereka memutuskan pisah, tanpa memperdulikan anak-anaknya. Padahal usiaku baru delapan tahun dengan tiga adik yang masih kecil. Si bungsu yang kembar bahkan masih netek pada ibu. Meski samar-samar, sebagai anak sulung, aku, -panggil saja Delwis- masih bisa mengingat bagaimana perjalanan rumah tangga orang tuaku.

Layaknya mayoritas warga desa kami di Malang, Kakek dan nenek atau kedua orang tua dari ayah ibuku, hidup jauh dari kecukupuan. Sehari-hari mereka bekerja mencari rumput untuk hewan piaraan merangkap buruh tani. Setelah bapak ibu kenalan, pacaran, dan akhirnya menikah, kehidupan tetap tak berubah. Seperti kakek dan nenek, mereka bertani di sawah milik orang lain.

Bapak dan ibuku pernah bercerita, semasa pacaran mereka berjanji akan setia selamnya sampai mati. Biarpuun hidup dalam gubuk bambu dan makan seadanya, mereka bahagia yang penting bisa bersama. Tapi itu dulu, ketika aku dan adik-adiku belum hadir. faktanya, setelah kehadiran anak dalam rumah tangga, janji mulia itu pudar perlahan. Padahal mereka sadar kehadiran anak, sejatinya adalah anugerah. Titipan tuhan yangharus dijaga dan dilimpahi kasih sayang.

Awalnya, orang tuaku menjalankan amanah tersebut. Sebelum perpisahan, mereka bekerja banting tulang siang dan malam. Tak jarang dengan alasan puasa, seharian mereka tidak makan dan minum. Lantaran memang tidak ada yang dimakan. Itu semua hanya demi aku dan adik adikku.

Tiap malam ibu tak pernah di rumah. keliling kampung jualan serabi. Atau jualan kacang rebus dan jagung bakar di stasiun. Siangnya, ibu masih sempat pergi ke sawah mencari sayur semanggi dan menjualnya ke tetangga. Bapakku tak jauh berbeda. Sejak pagi sudah pergi ke sawah, pulang menjelang adzan mahgrib.

Melihat kedua orang tua yang pontang panting mencari nafkah,aku tak tinggal diam. Aku mengambil alih pekerjaan rumah sekaligus menjaga adik-adik. Mungkin benar, saat itu orang tuaku sudah sangat lelah menghadapai kenyataan hidup. Meskipun sudah ditempuh dengan doa dan usaha. Tapi apakah semata-mata himpitan ekonomi, orang tua lalu memilih berpisah? Kenapa mereka tidak menungguku sedikit lebih dewasa, lagi. Sampai aku bisa mencari uang sendiri?

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

Nenek Sakit, Suami nggak Kerja, Anakku Lahir Prematur

Kamis, 23 Februari 2023 | 19:00 WIB

Suami Lebih Mementingkan Keluarganya, Aku Harus Gimana?

Selasa, 21 Februari 2023 | 19:00 WIB

Ibuku tak Pernah Akur dengan Suami dan Anak-Anak 3

Kamis, 16 Februari 2023 | 19:00 WIB
X