Aku berusaha bersikap seramah mungkin dengannya. Aku traktir dia makan-minum di suatu tempat bergengsi yang nyaman untuk ngobrol. Ketika obrolan sudah berlangsung intim, mulai aku mengorek pengakuan Ag.
“Siapa saja sih mas yang tahu hubungan mas Ag dengan Rara? Aku hanya ingin tahu supaya gak salah sikap di depan mereka. Lama tak ada jawaban. Sulitkah menyangkal dengan mengatakan tidak pernah ada hubungan khusus dengan Rara istriku? “Kenapa gak pergi jauh dari rumah kalau memang mas Ag dan Rara pengen?”.
“Aku khilaf, Mas. Aku sering melihat istri mas menyusui di teras rumah mbakku. Lama-lama aku tergoda, Mas…”. “Berapa lama mas Ag berhubungn dengan Rara?”. “Lupa, mas.”. “Lima bulan? Enam bulan?”. “Kayaknya gak sampai, Mas. Tiga bulanan ada.”. “Ada yang bilang hampir tiap hari mas Ag ketemu Rara di rumah mbak Wat?”. “Ya nggak, Mas. Tapi aku sendiri lupa berapa kali, Mas.”. “Rara ngaku sudah sering kali ngelakuin di kamar Yan (putri mbak Wat)…”. “Ya, tapi gak tiap hari, Mas.”
Pengakuan Ag dan kesaksian sejumlah orang itu malah membuatku bingung. Aku takut istriku ngambek kalau aku terus mendesaknya. Untungnya perasaan yang menggelayutiku tak mengganggu urusan kebutuhan ranjang kami. Kami tetap ‘semangat’ dan mesra.
Bahkan ada kalanya aku semakin bernafsu ketika membayangkan tubuh istriku pernah dicumbu oleh lelaki lain. Dan aku sangat senang bila istriku mau bercerita sedikit saja mengenai perlakuan romantis Hilman kepadanya dan reaksi spontan yang diberikannya.
Sayangnya aku tak terpikir untuk merekam pembicaraan antara aku dengan Ag agar bisa digunakan untuk mengorek pengakuan Rara. Aku ingin suatu ketika mengkonfrontir Ag dengan Rara. Tetapi keinginan itu sampai kini belum terlaksana. Cukuplah aku tahu bahwa Rara masih ‘doyan’.
Menurut orang memihakku, mungkin dengan Hilman pun masih selingkuh. Dia pernah mendapat info Rara makan di suatu resto bersama Hilman, tanpa membawa putri kami. Masalahnya, aku tidak ingin menceraikan Rara. Tetapi haruskah aku membiarkannya terus berselingkuh?
Sumber:ceritacurhat.com