Betapa menyesalnya saya saat itu melihat kedua orang tua dan kakak saya menangis dan kecewa. Mereka menanyakan siapa ayah dari janin yang ada dalam rahim saya. Sepertinya saya memang memilik lelaki yang tepat. Pacar saya mau bertanggung jawab untuk menikahi saya dan seminggu kemudian kami menikah. Satu bulan pernikahan, lahirlah anak itu. Kami bingung sekaligus sedih tapi reaksi orangtua saya lain. Mereka sangat bahagia karena cucu yang sudah mereka dambakan dari lama hadir ke dunia, inilah cucu pertama mereka. Saya dan suami saya tinggal terpisah. Dia tinggal di rumah mertua saya dan hanya dua minggu sekali dia datang untuk melihat anaknya dan di sinilah kesedihan bermula.
Di saat saya melihat teman-teman berjuang lulus SNMPTN, saya harus mengurus anak dan diacuhkan suami. Saat itu suami saya masih berstatus mahasiswa, dan dia sibuk dengan urusannya sendiri. Di tengah perjalanan saya sebagai istri sekaligus ibu saya mencoba bangkit, saya mencari pekerjaan dengan ijazah SMA dan menitipkan anak saya pada orangtua. Alhamdulillah Allah SWT masih memberi saya jalan untuk mengais rezeki walaupun saat itu saya hanya digaji Rp. 700.000. Itu hanya cukup untuk susu dan popok tapi setidaknya saya tidak perlu meminta itu dari orangtua lagi.
Saat saya sedang sibuk dengan pekerjaan, suami saya malah sibuk dengan wanita lain. Sedih hancur perasaan ini. Bahkan jika saya menegur, dia malah mengatakan bahwa anak yang saya lahirkan bukanlah anaknya. Anak itu tidak mirip dengannya tapi demi Allah saya hanya melakukan itu dengannya dan tidak pernah dengan orang lain selama hidup saya. Saya pun berusaha tegar menunggu jalan terbaik yang Allah SWT berikan.
Sumber: vemale.com