Tahun ke-3 kami memiliki bayi lagi, tapi sikap suami belum juga berubah. Dia tetap sibuk dan sibuk setiap hari. Karena tidak tahan, aku sering pulang ke rumah orang tuaku di kampung. Namun dia selalu berjanji berubah kalau kembali balik dan akhirnya kami bersama lagi.
Akhirnya tahun ke-5 pernikahanku, kami punya rumah sendiri. Betapa senang hatiku, tapi gelagat suamiku tidak bisa berubah. Kadang kalau aku minta dia di rumah sekadar membantuku jaga anak, dia mengamuk dan terkadang memukul. Pernah badanku sampai biru-biru karena menerima pukulannya.
Aku benar-benar tak tahan dengan perlakuannya. Akhirnya aku mencari kegiatan dengan menjadi tenaga pengajar di sebuah TK. Aku mulai bisa menerima kalau aku selalu diabaikan suamiku. Sekolah, tempatku mengajar lumayan banyak kegiatan, sehingga aku tak terlalu peduli dengan sikap suamiku.
Tapi karena kecanggihan teknolagi, aku bertemu mantanku di Facebook. Dengannya aku biasa curhat tentang masalah rumah tangga yang aku alami. Mungkin karena keseringan curhat, aku merasa benih-benih cinta yang pernah ada muncul kembali. Bagaimana tidak, perhatiannya 100 kali lipat dari suamiku. Teleponku terus berdering setiap hari, sekadar menanyakan sudah makan belum, anak-anak kabarnya bagaimana hari ini. Aku benar-benar lupa kalau aku sudah punya suami. Perhatiannya kusambut dengan suka cita.
Aku bahagia sekali. Sebagai wanita normal, inilah perhatian yang sungguh kuinginkan. Perhatian ini yang kuinginkan dari suami, tapi kenapa harus mantanku yang memberinya dan entah bagaimana caraku menghilangkan perasaan ini terhadap mantanku yang begitu perhatian, sementara aku masih berstatus istri orang. Sejujurnya aku bingung dengan dilema ini. Di satu sisi aku tahu aku tidak boleh berhubungan dengan pria lain, tapi di sisi lain keinginan untuk mendapat perhatian dan disayangi sangat besar. (cer/py)