Keikhlasan Ayah Memperbaiki Becak (2) BATUKNYA yang tak henti dalam satu dua minggu, nafas yang sedikit ngos-ngosan, asma sih enggak, mungkin saking kecapeannya Untuk menghidupi anaknya, ibuku membantu perekonomian keluarga dengan jualan gorenang setiap harinya. Ayahku sendiri hanya tukang becak motor dan petani kecil. Jadi setelah dia begadang atau hanya tidur dalam waktu 1-2 jam, lalu dia pergi ke sawah dan mengurus ladangnya. Tapi bila tidak musim tanam atau panen, maka ayahku pergi ke pankalan becak untuk mencari pelanggan. Sayangnya tak ada pelanggan yang mau menaiki becak motor milik ayahku. Memang aku akui dan juga ibu pun begitu, bahwa becak motor milik ayahku tak layak ditumpangi oleh orang. Mungkin jelek dan rusaknya karena dibuat untuk membawa kelapa kering milik bosnya untuk diantarkan ke para pelanggan pemilik kelapa tersebut. Iya, ayahku pengantar kelapa tua. Itu pun cuma jika setiap ada kelapa yang datang, biasa 3 hari sekali. Dari situlah ayahku benar-benar mendapat upah untuk menghidupi keluarga. Lantas bagaimana dengan barang rongsok yang selalu dikerjakannya setiap malam, yang susah payah dia bela-bela tidak tidur hanya untuk memperbaiki barang-barang tersebut? Kalau kalian tau, semua yang dia kerjakan untuk becak motor rongsok itu “TIDAK di BAYAR“. Ketika aku mendengar kabar tersebut dari ibuku, aku juga ikut jengkel, marah, kesal apa sajalah. Kenapa coba dia rela bela-belain memperbaiki becak rongsok milik temannya yang pada ujung-ujungnya tidak mendapat apa-apa? Kenapa juga sih dia merelakan kesehatanya hanya untuk orang yang tidak memikirkannya. Pernah aku menjumpai dia benar-benar sakit. Tubuhnya sangat lemas, batuknya sudah gak karuan nada dan iramanya, menyakitkan dada orang tersebut. Bersambung