Keikhlasan Ayah Memperbaiki Becak (3) DIA hanya bisa berbaring lemas untuk jangka waktu beberapa hari. Sejenak aku berfikir, mungki dia lebih baik diberi sakit dari Sang Kuasa, dengan begitu dia bisa istirahat. Mungkin juga dari sakit itu dia sadar, kalau yang dia lakukan itu tidak baik untuk kesehatannya. Toh juga apa yang ia lakukan tidak mendapat apa-apa. Tapi pikiranku salah besar, apa yang telah terjadi kepadanya tidak membuatnya berubah sama sekali. Saat dia sudah sedikit bugar, cuma sedikit saja, dia melakukan aktifitas itu lagi dan lagi. Sampai kapan dia akan melakukan hal itu? Aku kesal dengan berbuatanya, aku bukan benci, cuma kalau melihat salah seorang yang kusayang seperti itu, lantas aku harus bagaimana? aku juga bingung, ibu saja tidak bisa menasehatinya, apa lagi aku? Di suatu pagi yang seisi rumah ribut oleh ocehan ayah-ibuku, aku mendengar ucapan mereka yang lantang dengan suara saling meninggi, “pak bagaimana nasib anak kita, kalau bapak begini terus, penghasilan pas-pasan dan tidak cari kerja lain. Masih saja mengurus becak orang yang tidak mendapakan upah. Sedangkan anak kita sudah masuk kelas 3 SMA, habis ini butuh dana banyak untuk ujianya” kata ibuku berusa halus. “Ya udah lah, kalau sudah tidak bisa membiayai sekolah, ya gak usah sekolah” katanya keras. Raut muka ibuku menjadi mengkerut. “Jangan begitulah pak, bapak yang harus bisa cari kerja lain. Tinggalin itu becak-becak gak berguna. Paling juga di kasih 10 ribu, itu aja kalau ada yang ngasih.” kata ibuku sedikit meninggi. “Lah mau kerja apa, reski sudah ada yang ngatur, iya itu dapatnya.” “Tapi tidak begitu juga pak, bapak menyiksa diri kalau setiapa malam begitu.” “Udah lah udah, kalau mau sekolah suruh anakmu cari uang sendiri” Bersambung