Menampung Curhat, Memulung Kisah & Merangkai Cerita(5) MENGGABUNGKAN masalah hasil curhatan ke dalam ’masalah’ seorang tokoh fiktif ciptaan sendiri ternyata mengasyikkan. Saya menganggapnya sebagai sebuah seni. Layaknya seni instalasi dari barang bekas. Tambal-sulam, reka bentuk, olah rasa, olah cipta, dan sebagainya. Kunci utamanya bukan soal itu sebetulnya, tapi bagaimana menjaga agar orang yang curhat kepada saya sebelumnya, tidak merasa ditelanjangi di depan umum. Caranya ya itu tadi, tidak hanya menceritakan masalah (dari dia saja), tapi juga menjaga agar siapapun pembacanya, tidak menghubungkannya dengan si ’pemilik masalah’ yang sebenarnya. Untuk ini, saya lebih suka jika ada pembaca yang beranggapan bahwa masalah yang dihadapi si tokoh, terutama jika tokohnya adalah cowok adalah masalah saya sendiri. Biar saja pembaca menganggapnya itu sebagai ’masalah atau pengalaman pribadi’ saya. Padahal kan, sebanyak apapun masalah yang kita punya, untuk menjadikannya sebuah cerita utuh dan panjang seperti novel, seringkali dianggap kurang. Kebiasaan ini --mendengarkan dan menampung curhat---kemudian mengalihkannya ke dalam bentuk karya, ternyata juga jadi daya tarik tersendiri bagi pencurhat berikutnya. Sudah banyak yang tahu, kalau curhat kepada saya, ada kemungkinan akan ’dipakai’ untuk bahan cerita saya. Tapi karena itulah, semakin banyak pula yang ingin curhat. Mungkin bener teori psikologi yang mengatakan bahwa seseorang selalu membutuhkan ’pengakuan dosa’ karena tak bisa menahan atau menyimpannya sendiri. Tapi tidak semua ’pendosa’ berani mengaku di depan umum secara terang-terangan. Bersambung