METROPOLITAN.ID - Charlie Kirk, sosok muda konservatif berusia 31 tahun yang dikenal sebagai pendiri Turning Point USA, tewas tertembak saat tengah berpidato di sebuah universitas di Utah, Rabu, 10 September 2025.
Peristiwa ini bukan sekadar insiden kriminal, melainkan simbol nyata dari eskalasi kekerasan politik yang semakin membelah Amerika.
Rekaman video amatir memperlihatkan momen mencekam ketika suara tembakan terdengar dari arah gedung berjarak sekitar 200 meter dari panggung.
Ribuan mahasiswa yang hadir dalam acara tersebut sontak panik, sementara Kirk ambruk setelah peluru menghantam bagian lehernya.
Baca Juga: Trump Turunkan Tarif Impor Indonesia Jadi 19 Persen dengan Sejumlah Syarat, Ini Dampak Ekonominya
Petugas keamanan kampus langsung mengevakuasi kerumunan dan memberlakukan lockdown ketat. Satu orang sempat diamankan, namun pihak kepolisian menegaskan bahwa pria tersebut bukan pelaku utama.
Hingga kini, FBI bersama Biro Alkohol, Tembakau, Senjata Api, dan Bahan Peledak (ATF) masih memburu pelaku penembakan.
Siapa Charlie Kirk?
Nama Charlie Kirk sudah lama dikenal dalam lanskap politik Amerika. Ia mendirikan Turning Point USA pada 2012, organisasi yang fokus menanamkan ideologi konservatif di kalangan mahasiswa.
Dengan gaya retorika yang lugas dan sering provokatif, Kirk berhasil menjadikan dirinya sebagai jembatan utama antara Partai Republik, khususnya Donald Trump, dengan generasi muda Amerika.
Kehadirannya di media sosial juga membuat pengaruhnya meluas. Akun-akun Turning Point USA di berbagai platform berhasil menjaring jutaan pengikut, mengubah diskusi politik kampus menjadi arena perebutan ideologi.
Baca Juga: Donald Trump Kirim Surat ke Presiden Prabowo, Terapkan Tarif 32 Persen untuk Ekspor Indonesia
Kedekatannya dengan Donald Trump tidak perlu diragukan lagi. Kirk kerap hadir di panggung kampanye MAGA (Make America Great Again) dan menjadi suara lantang yang membela Trump, termasuk saat ia menuduh adanya kecurangan dalam Pemilu 2020.
Meski dielu-elukan sebagai bintang konservatif, Kirk juga tak lepas dari kontroversi. Pernyataannya yang mendukung agresi militer Israel di Gaza dengan membandingkannya pada tragedi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki menuai kritik luas.