Nandang menilai, restrukturisasi jangka panjang itu bukan solusi, tetapi bentuk penundaan beban yang justru memperparah tanggungan fiskal negara.
“Sangat tidak layak menganggap Whoosh sebagai transportasi publik yang wajar merugi, apalagi di tengah masih banyaknya infrastruktur dasar, seperti jalan dan jembatan, di berbagai daerah yang kondisinya tidak layak. Prioritas anggaran telah keliru,” tutur Nandang.
“Restrukturisasi 60 tahun bukanlah penyelamatan, melainkan pengalihan beban antar-generasi. Artinya, anak cucu kita nanti tetap harus membayar utang dari proyek yang manfaatnya minim bagi rakyat,” tambahnya.
Gerakan Rakyat menilai, permintaan maaf dari Presiden Jokowi penting sebagai bentuk tanggung jawab moral dan politik atas kebijakan yang terbukti merugikan negara.
“Rakyat tidak anti pembangunan, tetapi menuntut pertanggungjawaban atas proyek yang sejak awal tidak layak secara ekonomi. Presiden Prabowo sekarang sedang fokus memperkuat ekonomi rakyat dan menjaga stabilitas fiskal, namun harus menghadapi beban dari keputusan yang terburu-buru,” ungkap Nandang.
Sebagai langkah konkret, Gerakan Rakyat juga mendesak DPR RI dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh aspek pembiayaan dan pengelolaan proyek Whoosh, termasuk penggunaan dana BUMN dan APBN di dalamnya.
“KPK, BPK, dan DPR harus turun tangan bersama memastikan tidak ada penyimpangan dalam proyek ini. Negara tidak boleh diam terhadap kebijakan yang diduga merugikan rakyat triliunan rupiah,” tutup Nandang.***