"Ayah saya mengumpulkan uang untuk perjalanan saya, mendoakan saya supaya berhasil, dan melepaskan kepergian saya."
Anak-anak lain pergi dengan orang tua, tapi berpisah dengan mereka dalam perjalanan.
"Kami sedang berada di perahu menuju Italia ketika air masuk dan menenggelamkan perahu. Saya berpegangan dengan anak laki-laki yang lain selama beberapa jam, dia menyelamatkan saya, tapi ayah dan ibu saya tewas, saya tidak melihat mereka lagi," kata Will, berusia 8 tahun, yang saat ini berada di kamp Libya.
Seorang pejabat Kementerian Dalam Negeri Libya mengatakan kepada UNICEF bahwa ada puluhan penjara ilegal yang tidak dikontrol oleh Libya melainkan dijalankan oleh milisi bersenjata.
"Mereka meminta uang kepada pemerintah untuk menghidupi para migran, untuk membeli air, makanan, dan pakaian. Namun, di sisi lain mereka mengontrol perdagangan manusia, dengan menggunakan penjara-penjara tersebut sebagai 'tempat tunggu' migran hingga mereka bisa menyelundupkan para migran tersebut ke tempat tujuan."
Juru bicara UNICEF, Christopher Tidey, mengatakan bahwa UNICEF telah mengajukan rencana untuk melindungi para migran, khususnya anak-anak yang tak didampingi, dan mengakhiri penahanan anak-anak.
Salah satu bentuk perlindungan, selain pemberian akses layanan kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya, adalah mencoba untuk mempersatukan keluarga.
Dalam studi ini, UNICEF mewawancarai 122 orang, 82 perempuan, dan 40 anak. Anak-anak tersebut, berusia antara 10 sampai 17 tahun, berasal dari 11 negara berbeda.
75% anak yang sudah diwawancarai mengatakan mereka pernah mengalami kekerasan, usikan, atau siksaan dari orang-orang dewasa.
Hampir setengah dari jumlah perempuan yang diwawancarai mengalami kekerasan seksual dalam perjalanan.
Alasan-alasan untuk tidak melaporkan kekerasan ini di antaranya karena aib, takut akan ditangkap, dan takut dideportasi.
SUMBER : detik