UNICEF menggambarkan pusat penampungan ini seperti neraka, di mana kaum perempuan dan anak-anak adalah korban utama mereka.
Kondisi kesehatan di pusat penampungan tersebut minim dan terlalu penuh, sebanyak 20 migran terkadang ditampung di sel yang tak lebih dari dua meter persegi selama periode yang lama.
(AP) Tahun lalu, sembilan dari 10 anak yang berhasil mengarungi Laut Mediterania ke Eropa tidak didampingi oleh keluarga mereka. Pertaruhan nyawa
Puluhan ribu orang pergi dari kawasan Afrika dan Timur Tengah untuk mengarungi Laut Mediterania dengan impian sampai ke Eropa.
Namun, sebelum mereka mempertaruhkan nyawa di lautan, mereka harus menghadapi gurun Sahara terlebih dahulu.
Sebelum memulai perjalanan dengan perahu untuk menyeberangi lautan berjarak 500 km yang memisahkan Libya dengan Sisilia, mereka harus melalui gurun Libya yang berjarak 1.000 km hingga ke pinggir pantai.
"Perjalanannya susah karena kami harus berjalan kaki. Tidak ada mobil, kami berjalan di gurun selama dua minggu. Kami terkadang berjalan sepanjang hari tanpa air minum, terkadang sampai dua hari," ujar Pati, gadis Nigeria berusia 16 tahun.
Selain rute yang berbahaya, penyeberangan tersebut juga menjadi bisnis berpenghasilan jutaan oleh jaringan kriminal yang menyelundupkan orang.
"Para penyelundup ada karena mereka menawarkan layanan kepada orang-orang putus asa yang tidak memiliki akses legal. Mereka hanya peduli tentang uang yang mereka terima dari puluhan ribu perempuan dan anak-anak, mereka tidak mencemaskan kondisi anak-anak yang mereka selundupkan, apakah anak-anak tersebut akan menghadapi kematian di Gurun Sahara atau Laut Mediterania," kata Justin Forsyth, wakil direktur eksekutif UNICEF.
Kelompok penjahat Nigeria sering kali menawarkan "paket" ke Eropa sebesar 50.000 hingga 70.000 naira (sekitar Rp3,5 juta), "paket" tersebut terdiri dari lahan dan transportasi air, pemalsuan dokumen dan sumber daya lainnya yang dalam banyak kasus tidak mereka penuhi.
Namun, saat mereka mencapai tempat tujuan, utang mereka lebih dari US$55.000 (sekitar Rp735 juta) yang dibayar dengan prostitusi paksa selama periode hingga tiga tahun.
Menurut Forsyth, rute migrasi Mediterania Tengah sekarang tak diragukan lagi adalah bisnis kriminal di mana para perempuan dan anak-anak membayar harga tertinggi selain juga mengalami kekerasan seksual, eksploitasi, dan juga terbunuh.
"Saya meninggalkan Nigeria 2,5 tahun lalu, ingin menyeberangi Laut Mediterania, mencari kerja, bekerja keras untuk membantu lima saudara laki-laki saya," kata Issaa yang berusia 14 tahun kepada UNICEF.