"Kalau kemarau lebih dari tiga bulan, parit kosong dan bila terjadi kebakaran kita mengandalkan sumur bor. Sumur bor fungsinya untuk mensuplai air kalau terjadi kebakaran dan membasahi area sekitar batas hutan ini," jelas Janu.
Vital, sistem respons cepat memadamkan api
Akar di lahan gambut yang dapat mencapai kedalaman puluhan meter menyebabkan sulitnya memadamkan kebakaran di areal hutan ini karena bara api yang dapat bertahan lama.
Karenanya, sistem respons cepat bila terlihat adanya titik api, menjadi sesuatu yang sangat vital.
"Seberapa banyak sumur bor tak ada fungsinya kalau tak ada tim yang memfungsikan sumur bor itu," kata Janu lagi.
Bekerja sama dengan para penduduk desa setempat, ia membentuk tim, yang sepanjang tahun berjaga di posko di depan Jumpun Pembelom untuk menerima laporan bila ada penduduk desa yang melihat titik api.
"Kalau kita harapkan tim dari luar tak efektif. Melalui sistem respons cepat itulah, api bisa dipadamkan. Kemudian kalau sudah terbakar, bisa berbulan-bulan, bila tidak dipadamkan dia akan terus," tambahnya lagi.
Desa di seputar Jumpun Pambelom termasuk yang paling parah terkena kebakaran hutan, dengan asap tebal terjadi hampir tiga bulan pada 2015.
Dio, Kepala Desa Tumbang Nusa, termasuk yang merasakan dampak kebakaran hutan ini.
"Tahun 2015 kebakaran sangat hebat, asap luar biasa. Tidak adanya fasilitas seperti sumur bor dan mesin sangat terasa dalam penanganan kebakaran," tutur Dio.
Saat ini di seputar desa telah dipasang sekitar 120 sumur bor.
'Tak sanggup padamkan api dengan ember'
Di sejumlah desa lain, kawasan yang rentan kebakaran juga banyak terpasang sumur-sumur seperti ini, seperti cerita Siti Neneng yang tinggal di desa Bereng Bengkel.