Minggu, 26 Maret 2023

Labuan Bajo (2), Bukit Curam menuju Puncak Pulau Padar dan Manisnya Pink Beach

- Selasa, 25 Januari 2022 | 15:01 WIB
Pulau Padar, Labuan Bajo, NTT. (Foto: Arifin/Metropolitan)
Pulau Padar, Labuan Bajo, NTT. (Foto: Arifin/Metropolitan)

METROPOLITAN -Anda tau gambar pulau di pecahan uang Rp50 ribu cetakan tahun 2016 yang menjadi latar penari Legong asal Bali? Jika belum, berkunjunglah ke Labuan Bajo. Anda akan menemukan jawabannya. Ekspe­disi hari kedua Gerakan Anak Negeri (GAN) dimulai sebelum pagi. Sekira pukul 04:00 WITA, kami sudah dibangunkan. Pemandu Utama kami dari EO Kumbolo, Kang Aji, me­nyarankan agar perjalanan ke Pulau Padar dilakukan lebih awal. Ya, Pulau Padar adalah tu­juan kami mengawali hari kedua ini sebelum ke Pink Beach. Alasannya, mengejar sunrise atau matahari terbit. Alasan lainnya, supaya bisa leluasa karena lokasi ini sel­alu ramai wisatawan, men­jadi salah satu daftar wajib dikunjungi ketika menginjak­kan kaki di Labuan Bajo. Sekoci sudah bersiap di sam­ping kapal, membawa kami ke dermaga kecil di pulau tak berpenghuni itu secara ber­gantian. Sementara kapal tetap berada di posisi semu­la. Jaraknya tak jauh, tak sam­pai lima menit dari tempat kapal berlabuh.
-
Pemandangan kapal-kapal pinishi bersandar di dekat dermaga Pulau Padar, Labuan Bajo, terlihat indah saat perjalanan menuju puncak pulau. (Foto: Arifin/Metropolitan) Pukul 04:18 WITA saya dan rombongan tiba di dermaga. Matahari masih malu-malu menampakkan rupa. Semen­tara anak tangga terbentang sepanjang mata memandang. Tujuan kami adalah puncak Pulau Padar. Dari ketinggian, pulau ini menyuguhkan pe­mandangan tiga teluk dengan tiga pantai yang pasir dengan tiga warna berbeda; putih, hitam dan pink. Pulau terbesar ketiga di ka­wasan Taman Nasional Ko­modo ini memang sangat hits, menjadi incaran wisatawan untuk mengabadikan diri dengan latar keindahan alam­nya. Di balik rupa nan elok, ru­panya tak mudah mencapai puncak Pulau Padar. Wisata­wan harus menaklukan lebih dari 800 anak tangga dengan kemiringan yang cukup curam, mencapai 45 derajat, bahkan lebih. Saya sendiri harus menghen­tikan langkah beberapa kali sebelum tiba di puncak. Kaki terasa kaku karena tracking tanpa pemanasan. Napas ter­sengal, keringat bercucuran. Jalur Pulau Padar tak bisa dibilang remeh. Fahmi Akbar, Redpel Radar Depok yang naik bersama saya bahkan sempat muntah dan ‘keleyengan’ usai kelelahan meniti anak tangga.
-
Pulau Padar. (Foto: Arifin/Metropolitan) Setelah nyaris 40 menit me­lawan perasaan menyerah, saya tiba di puncak. Beberapa rekan lainnya ada yang sudah sampai lebih dulu. Tak sedikit juga yang masih berusaha menaklukan anak tangga sambil sesekali berhenti men­gatur napas. Tim kami menjadi rom­bongan wisatawan pertama yang tiba di puncak hari itu. Hamparan tiga teluk di tengah biru lautan seketika mebel­alakkan mata. Padang savana hijau yang menyelimuti dar­atan pulau dengan bentuk tak beraturan seakan melengka­pi kesempurnaan Pulau Padar. Rasanya tak berlebihan me­nyebutnya surga kecil. Padang sabana yang terben­tang hijau ini terbentuk ka­rena cuaca sedang musim hujan. Sementara jika musim panas, biasanya dimulai Ma­ret, padang ini akan berubah menjadi cokelat. Membuat hamparan Pulau Padar sang­at eksotis seperti berada di antah berantah. Sinar matahari perlahan muncul dari balik bukit, me­nampakkan wujud nyata pulau yang ditetapkan UNESCO sebagai salah satu situs wari­san dunia ini. Deretan kapal-kapal pinishi yang menjadi rumah bagi wisatawan selama mengarungi Labuan Bajo juga nampak sangat memesona dengan lampu-lampu yang masih menyala. Tak heran keindahannya sampai diabadikan di pecahan uang Rp50 ribu cetakan tahun 2016.
-
Pulau Padar, Labuan Bajo, NTT. (Foto: Arifin/Metropolitan) Salah satu pemandu lokal yang saya temui di Pulau Pa­dar adalah Abdul. Menurutnya, Pulau Padar dan kawasan wisata lainnya di Labuan Bajo perlahan mulai tereks­pose secara luas sekitar 2010–2011. Dari situ, wisatawan-wisatawan mulai berdatangan. Di musim liburan, khususnya saat akhir pekan, jumlah kun­jungan wisatawan bisa men­capai ratusan orang lebih. Kondisi ini sempat terhenti saat Covid-19 menghantam selama sekitar dua tahun. Baru beberapa bulan belakangan, wisatawan mulai kembali berdatangan. “Sebelumnya sama seperti yang lain, sepi karena pan­demi. Saat ini juga masih didominasi wisatawan lokal, karena wisatwan asing kan masih sulit masuk ke Indo­nesia, harus karantina. Dulu, infonya sepert itu,” ungkap Abdul. Labuan Bajo memang ikut dihantam pandemi. Dilansir dari situs pedulicovid19.ke­menparekraf.go.id, Badan Otoritas Pariwisata Labuan Bajo, Flores (BOPLBF) men­catat ada 256 ribu wisatawan berkunjung ke Labuan Bajo pada 2019. Namun, angkanya merosot hingga 83 persen sepanjang 2020. Abdul juga menyebut ada beberapa komodo yang men­ghuni Pulau Padar. Rusa juga ditemukan di pulau ini, men­jadi salah satu makanan hewan purba yang biasa disebut Ora oleh penduduk lokal. “Kalau di Pulau Padar ini ada sekitar 12 ekor komodo, pernah terlihat tahun lalu, ukurannya cukup besar. Tapi mereka adanya di area-area yang nggak terjamah wisata­wan, karena Pulau Padar ini kan luas, yang untuk wisata­wan hanya sebagian kecilnya saja untuk menjaga kelesta­rian kawasannya,” terangnya. Abdul menjelaskan sejum­lah larangan saat berada di Pulau Padar. Selain tak boleh merokok, pengunjung wajib membawa sampahnya kem­bali. Tidak disediakan tempat sampah di puncak Pulau Pa­dar untuk menjaga kawasan taman nasional tetap terjaga. “Botol minum, tisu dan lain­nya harus dibawa turun ka­rena di sini tidak disediakan tempat sampah. Sengaja tidak ada tempat sampah karena di sini kan bukan tempat mem­buang sampah. Ini wilayah konservasi yang harus dijaga kelestarianya,” tegas Abdul. Saat matahari mulai menam­pakkan diri, wisatawan lain mulai berdatangan. Beberapa wisatawan asing nampak. Mereka langsung menyerbu spot foto yang instagramable, yang hits di media sosial.  
-
Pulau Padar (Foto: Arifin/Metropolitan)   Jika sudah begini, jangan harap bisa leluasa mengaba­dikan diri di spot-spot dengan latar sempurna. Bersiaplah mengantre, bergantian dengan wisatawan lain. Kami memilih menyudahi petualangan di pulau ini se­kira pukul 06:00 WITA. Satu orang dari rombongan kami juga sempat menerbangkan drone. Yang perlu jadi perha­tian, ada biaya tak sedikit untuk bisa menerbangkan pesawat nirawak di Pulau Pa­dar. Anda perlu izin dengan merogoh kocek sebesar Rp1 juta.
-
Perjalanan turun tak sebe­rat ketika mendaki. Setibanya di dermaga, beberapa rusa asik bermain di bibir pantai. Burung-burung bangau ter­bang rendah di antara wisa­tawan yang menunggu seko­ci untuk kembali ke kapal dan melanjutkan petualangan di Labuan Bajo. Tuntas di Pulau Padar, Pink Beach menjadi tujuan sela­njutnya. Jaraknya tak terlalu jauh dari Pulau Padar, hanya memerlukan waktu sekira satu jam. Menurut pemandu wisata, ada beberapa hamparan Pan­tai Pink di antara teluk-teluk yang bisa dikunjungi. Lokasi sepi tanpa wisatawan lain menjadi pilihan. Seperti biasa, sekoci mem­bawa kami menepi ke pulau tujuan. Kapal-kapal memang tak bisa sampai ke bibir pan­tai khawatir karam karena biasanya dangkal.
-
Pink Beach. (Arifin/Metropolitan) Seperti namanya, hamparan pasir berwarna pink sudah terlihat sedari jauh. Tangan mengeruknya segenggaman sesaat setelah turun dari sekoci. Memastikan benar yang tampak mata adalah pasir berwarna pink. Pedagang di Pink Beach menjadi sasaran saya melam­piaskan rasa penasaran. Di salah satu gubuk tempat ber­jualan, saya bertemu Ismail. Pria 27 tahun asal Kampung Komodo itu berjualan di ba­wah gubuk sederhana di pulau tersebut. “Warna pinknya dari karang ini, adanya di sini saja. Jadi ini benar-benar alami. Karang-karang itu (berwarna pink) banyak di laut sini, kalau kita menyelam bisa ditemukan. Jadi warna pink ini serpihan dari karang-karang pink,” ujar Ismail seraya menujukan po­tongan karang berwarna pink kemarahan yang ditemukan­nya di tepian pantai.
-
Pink Beach. (Arifin/Metropolitan) Jika dilihat secara seksama, pasir di pantai ini sama se­perti di pantai pada umumnya, berwarna putih. Bedanya, serpihan halus berwarna pink ini bercampur sehingga me­nenggelamkan warna asli pasir. Warna pink ini juga disebut terbentuk dari hewan mikroskopis. “Dia kalau kena air laut tam­bah kelihatan pinknya, keme­rah-merahan malah. Pasirnya sebenarnya putih, bisa diliat di bagian yang jauh dengan bibir pantai. Yang pink hanya area pantai yang terkena air laut,” sambungnya. Ombak di Pantai Pink ter­bilang kecil. Cocok untuk berenang sambil menikmati indahnya hamparan pulau yang diselimuti padang sa­bana hijau.
-
Dari tepi pantai, beberapa burung elang terbang rendah mengitari kapal kami. Pekikan suara khasnya menambah indah suasana. Perpaduan lengkap kekayaan hayati La­buan Bajo. Di Pink Beach ini berdiri enam gubug tempat berjua­lan. Saya memesan kelapa muda usai menceburkan diri. Harganya Rp30 ribu per buah. Kata Ismail, tak sembarang orang bisa mendirikan gubug untuk berdagang di pantai ini. Tiap minggunya maksimal hanya boleh enam pedagang berjualan dari total 12 peda­gang. Aturan ini diterapkan untuk tetap menjaga kelesta­rian kawasan pantai yang masih masuk dalam area Komodo">Taman Nasional Komodo.
-
Pink Beach. (Arifin/Metropolitan) Ayah tiga anak ini juga mengaku baru beberapa bu­lan belakangan membuka warungnya kembali. Nyaris dua tahun ia dan pedagang lain ikut terdampak pandemi lantaran tak ada wisatawan. Selama masa-masa sulit itu, apapun dilakukan untuk hidup dan menghidupi anak istri. Memancing hingga mencari madu dilakoni Ismail agar dapur tetap ngebul. “Alhamdulillah akhir pekan sekarang mulai ramai. Waktu Covid nggak ada yang datang ke sini, kosong dari awal, ham­pir dua tahun mungkin. Usa­ha mati. Mulai ramai lagi baru beberapa bulan lalu saat wi­sata dibuka lagi,” terang Ismail. (Arifin)

Editor: admin metro

Tags

Terkini

X