Minggu, 26 Maret 2023

Labuan Bajo (4), Percaya Komodo Lahir dari Rahim Manusia

- Jumat, 28 Januari 2022 | 09:45 WIB
Ketua Dusun 1 Desa Komodo, Muhamad Sidik, saat mengawasi komodo yang turun ke pemukiman warga. Warga sudah terbiasa dengan kehadiran kadal purba raksasa tersebut dan menganggapnya keluarga. (Arifin/Metropolitan)
Ketua Dusun 1 Desa Komodo, Muhamad Sidik, saat mengawasi komodo yang turun ke pemukiman warga. Warga sudah terbiasa dengan kehadiran kadal purba raksasa tersebut dan menganggapnya keluarga. (Arifin/Metropolitan)

Komodo ini pernah dilahirkan nenek moyang kita. Mereka melahirkan anak kembar, manusia dan Komodo. Itulah sejarah Komodo,” labuan bajo dan Komodo">Taman Nasional Komodo tak bisa terpisahkan. Hamparan keindahan hayatinya bak surga kecil, sekaligus menjadi habibat asli Varanus Komodoensis atau Komodo. Satwa purba yang tak ditemukan di belahan bumi lainnya. Konflik manusia dengan satwa liar seringkali terjadi. Namun di Komodo">Taman Nasional Komodo, tepatnya di Desa Komodo, Kecamatan Komodo, konflik tersebut sangat jarang ditemukan. Mereka hidup berdampingan dengan kadal raksasa yang dikenal memiliki liur dengan bakteri mematikan. Terik matahari masih cukup menyengat kala tim tiba di Desa Komodo di hari kedua ekspedisi. Setelah gagal melihat sunset dan sunrise selama perjalanan karena cuaca buruk, keberuntungan lain datang. Kami dipertemukan dengan kadal raksasa liar yang sedang turun ke perkampungan kala itu. “Kalau di sini sudah biasa, mereka (Komodo) ini cukup sering turun ke perkampungan. Paling ya diusir saja, tapi nggak disakiti,” ujar Kepala Dusun (Kadus) Desa Komodo, Muhamad Sidik saat memandu kami melihat Komodo di desanya. Pria 42 tahun ini mengaku Desa Komodo menjadi salah satu habitat Komodo. Diperkirakan, lebih dari 20 Komodo besar, 10 Komodo kecil, dan 30 Komodo bayi ada di sekitar pemukiman warga. Menurutnya, hewan purba yang dikenal memiliki liur mematikan itu sudah hidup berdampingan dengan warga sejak ratusan tahun lalu, saat warga Komodo yang merupakan nenek moyang mereka tinggal di pulau ini.
-
Seekor Komodo turun ke area perkampungan warga di Desa Komodo, labuan bajo. (Arifin/Metropolitan) Dilansir dari laman Indonesia.travel, kehadiran kadal raksasa di dunia ini pertama kali diliput dalam jurnal ilmiah pada tahun 1912. Jurnal tersebut ditulis oleh Pieter Antonie Ouwens, Direktur Museum Zoologi Bogor. Penemuan tersebut menjadi awal mula eksistensi labuan bajo di mata dunia karena banyak turis dan ilmuwan yang datang untuk melihat langsung ora, sebutan Komodo dari warga lokal. Ada ikatan khusus yang diyakini warga Kampung Komodo dengan satwa yang hanya ditemukan di Indonesia ini. Mereka menganggap Komodo sebagai sudara sedarah yang lahir dari rahim manusia, nenek moyang mereka. Pak Kadus –sapaan akrab- Muhamad Sidik menuturkan, cerita tersebut sudah ada sejak zaman nenek moyangnya. Terus lestari hingga kini dan dipercayai sebagai sebuah kebenaran, bukan mitos. “Jadi turun temurun dari nenek moyang kami. Sampai ke nenek saya dan ibu saya, selalu menceritakan ke generasi anak-anak mereka bahwa Komodo itu sudara kalian. Karena Komodo ini pernah dilahirkan seorang nenek moyang kita. Mereka melahirkan kembar, satu manusia dan satunya Komodo. Itulah Komodo bagi kami,” ungkapnya. Kepercayaan ini yang akhirnya membuat warga desa hidup berdampingan dengan Komodo. Meskipun, tak jarang Komodo memakan hewan ternak warga seperti kambing, ayam dan lainnya. Ketika hal itu terjadi, warga menganggapnya sebagai hukum alam dan tak menyakiti Komodo dengan memukul atau perlakuan kasar lainnya.
-
Seekor Komodo turun ke area perkampungan warga di Desa Komodo, labuan bajo. (Arifin/Metropolitan) Warga lokal bahkan punya panggilan sayang terhadap Komodo, yakni ‘sebay’. Sebay diartikan sebagai penyandingan manusia yang bersebelahan dengan Komodo, memiliki makna lebih luas sebagai kakak atau saudara. Cerita lainnya seputar harmonisasi Komodo dengan manusia adalah pernah ada bayi yang tidur bersama kadal raksasa tersebut. Pak Kadus menuturkan, cerita itu sudah lama terjadi. Dahulu, mata pencaharian warga Kampung Komodo bergantung pada musim. Jika musim buah asam, mereka akan memetik asam. Sementara jika musim teripang, mereka akan ke laut mencari teripang. Yang jelas, untuk mencari teripang atau asam, warga harus keluar kampung dan biasanya membuat pondokan-pondokan sementara di hutan maupun di laut. Satu keluarga Kampung Komodo disebut pernah menidurkan anaknya yang masih bayi di dalam pondokan saat orang tuanya memetik buah asam. Tetiba, Komodo masuk ke pondokan tersebut. Anehnya, sang Komodo dan memakan atau menggigit bayi tersebut, pun mengusiknya. Ia malah tidur di sebelah sang bayi. Kondisi itu diketahui orang tua bayi saat mengecek ke dalam gubug. Meski kaget, orang tua si bayi tak sampai melukai Komodo itu. Ia hanya mengusirnya secara halus. “Orang tuanya hanya kaget saja ada Komodo masuk. Mereka bilang ‘hay sebay kamu jangan ganggu anak kami, itu masih saudara kamu,’. Dengan sendirinya Komodo itu pergi. Orang sini memanggil Komodo dengan sebutan sebay. Panggilan keakraban, panggilan sayang. Seperti yang saya bilang tadi, ada hubungan darah dengan manusia,” ungkap Pak Kadus.
-
Seekor Komodo turun ke area perkampungan warga di Desa Komodo, labuan bajo. (Arifin/Metropolitan) Sepanjang yang ia tahu, hanya ada sangat sedikit kejadian Komodo yang menyerang warga. Pak Kadus mengakui pernah sekali ada bocah yang digigit Komodo hingga tewas. Itu pun bukan tanpa sengaja. Jadi saat itu, ada seorang bocah 7 tahun yang sedang memetik buah asam. Saat di atas pohon, bocah tersebut merasakan mules. Ia lantas turun dan buang hajat di semak-semak. Namun rupanya, seekor Komodo ternyata sedang bersarang di semak-semak. Ia yang tak menyadarinya langsung disergap Komodo tersebut. “Jadi tidak sadar kalau di situ ada Komodo. Ya meskipun berdampingan, tapi bukan berarti tidak harus menghindar saat ada Komodo. Tetap tidak boleh lalai karena walau bagaimanapun mereka kan satwa liar,” jelasnya.
-
Ketua Dusun 1 Desa Komodo, Muhamad Sidik, saat mengawasi Komodo yang turun ke pemukiman warga. Warga sudah terbiasa dengan kehadiran kadal purba raksasa tersebut dan menganggapnya keluarga. (Arifin/Metropolitan) Ketika diperhatikan, ada kesamaan tongkat yang dipegang Pak Kadus dan pemandu wisata di Komodo">Taman Nasional Komodo. Mereka sama-sama memegang tongkat kayu dengan ujung bercagak yang membentuk huruf Y untuk menghalau Komodo jika sewaktu-waktu menyerang. Yang menarik, ada kepercayaan lain dengan bentuk Y pada tongkat tersebut. Menurut Pak Kadus, bentuk Y sama dengan lidah Komodo yang bercagak. Hal ini dipercaya bisa menjauhkan Komodo saat disodorkan tongkat karena merasa punya kesamaan. “Kalau secara logika ya untuk menghalau kepalanya ya, tapi orang sini percaya tongkat ini sama dengan lidah Komodo. Jadi mereka akan pergi ketika disodorkan tongkat ini. Tapi sebetulnya tongkat ini pun kurang nyaman untuk menghalau, tetap kita harus menghindar kalau bertemu,” kata Pak Kadus mewanti-wanti. Pun dengan rumah-rumah yang berdiri di Desa Komodo. Mayoritas bentuknya sengaja dibangun semi panggung agar ketika komnodo turun ke pemukiman tidak masuk ke rumah warga. Desain tersebut juga untuk menghindari ketika banjir melanda.
-
Salah satu rumah warga di Kampung Komodo, labuan bajo. (Arifin/Metropolitan) Senada, salah seorang warga, Ismail, juga mempercayai cerita Komodo yang lahir dari rahim manusia. Baginya, kehadiran Komodo di tengah perkampungan adalah hal yang biasa. Yang jelas, warga tak akan tega menyakitinya meski hewan ternak kerap dimangsanya. “Ini benar (cerita Komodo), saya kan dari kampung aslinya. Jadi di kampung kami anak kecil bermain sama Komodo itu biasa. Percaya manusia yang melahirkan Komodo. Kalau di kampung kami itu mereka makan kambing juga, ayam, kucing. Masyarakat tidak heran lagi. Tidak akan melukainya karena itu hukum alam. Kalau kita melihatnya, ya kita membantu si hewan yang digigitnya,” tandas Ismail.
-
Dermaga menuju Desa Komodo, labuan bajo. (Arifin/Metropolitan) Hingga saat ini, kearifan lokal tersebut terus terjaga. Hubungan ini juga yang akhirnya membuat warga sekitar tak memburu satwa pemakan bangkai dan daging tersebut. Komodo dan warga desa hidup harmonis berdampingan. “Jadi istilahnya hidup berdampingan, hidup berdamai dengan Komodo. Jadi Komodo adalah bagian dari keluarga besar masyarakat yang ada di sini, bagian keluarga besar dari orang-orang yang ada di desa Komodo,” ujar Hazairin Sitepu, inisiator Gerakan anak negeri sekaligis CEO Radar Bogor Grup mengakhiri perbincangan dengan Pak Kadus. (Arifin)

Editor: Arifin

Tags

Terkini

X