“HIJI KALI LIMA..? Lima. Dua kali lima..? Sapuluh. Tilu kali lima..? Lima belas”. Suara nyaring itu terdengar dari sebuah bilik bambu yang telah lapuk. Di ujung Gunung Suling Rumpin Bogor itulah anak-anak Kampung Haniwung, Desa Rabak, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, bersekolah. Setelah menembus hutan dan melewati jalan setapak dikelilingi jurang, sekolah satu-satunya di atas gunung itu akhirnya terlihat.
SEBUAH bangunan mirip gubuk berdiri di atas lahan milik warga bernama Usuf, warga asli Kampung Haniwung yang lama ditinggalkan. Di ujung gunung itu tampak bocah berseragam merah-putih asyik belajar di bawah pohon sambil ditemani suara kolecer (kincir, red). Meja kayu yang sudah usang dipakainya sebagai alas belajar. Sedangkan sebagian yang lain menempati rumah bilik yang kelihatan kolot (tua, red) dengan atap keropos.
Senyum ramah pun terpancar dari wajah lugu mereka. Sambil memperhatikan sang guru mengajar, sesekali ada dari mereka yang berlarian sambil bersenda gurau. Bahkan, ada yang sengaja bermain di kandang kambing yang bersebelahan dengan bilik sekolah. Sampai-sampai gurunya dibuat kelabakan mengurus enam murid kelas satu itu.
“Ya begini lah kalau sekolah di kampung, anak-anak semaunya. Kadang ada yang kabur ke kandang kambing, ada yang lari-larian,” ungkap Dedi Supardi, guru honorer yang baru dua tahun mengajar.
Sedikitnya ada 42 siswa yang belajar di sekolah ujung Gunung Suling Rumpin yang merupakan kelas jauh dari SD Negeri Rabak 01, Kabupaten Bogor. Meski fasilitasnya serba terbatas, sekolah ini menjadi harapan warga satu kampung yang hidupnya terasingkan.
Ini karena lokasinya yang berada di atas gunung hingga perlu perjuangan untuk sampai di kampung berpenduduk 73 Kepala Keluarga (KK) atau sebanyak 325 jiwa itu. Termasuk usaha keras menembus hutan, melewati jalanan terjal dan curam yang kanan-kirinya dikelilingi tebing dan jurang.
Bahkan, setiap harinya sang guru rela menempuh perjalanan melelahkan dengan kondisi jalan yang sebagian masih tanah berbatu, belum lagi jika musim hujan. Tak hanya licin, jalanan pun dipenuhi tanah merah yang riskan dilewati.
“Awal-awal memang kaget, tetapi karena sudah menjiwa akhirnya enak saja jalaninya. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk ke sekolah karena kan naik motor. Kalau hujan, motornya didorong,” aku Dedi.
[video width="640" height="352" mp4="http://assets.promediateknologi.com/crop/0x0:0x0/750x500/photo/metropolitan/2017/01/VID-20170124-WA0045.mp4"][/video]Setiap pukul 08:00 WIB, murid-murid di sana sudah ramai memenuhi ruang kelas butut. Belajar mereka tak lama, hanya sekitar dua sampai tiga jam. Biasanya pukul 10:00 WIB anak-anak sudah bubar sekolah.
Anak kelas satu belajar di luar kelas, sedangkan khusus kelas dua dan tiga dikumpulkan dalam satu ruang kelas butut. Tak hanya fasilitas yang terbatas, tenaga pengajar pun sangat minim. Hanya ada dua guru honorer yang menjadi pendidik untuk anak-anak di Kampung Haniwung.
“Kalau satu nggak masuk, ya semuanya di-handle satu orang,” ucap Mulhat Iskandar, guru pengampu kelas dua dan tiga yang ikut jadi perintis hadirnya sekolah ujung Gunung Suling Rumpin.
Setiap harinya murid-murid di sana belajar dua jam. Sedangkan untuk mengampu seluruh siswa, sekolah yang baru berdiri dua tahun itu hanya memiliki dua guru honorer.
Satu bulannya setiap guru digaji sebesar Rp700 ribu. Itu pun baru baru ini didapat. Saat awal mengajar, guru hanya diberi upah mengajar sebesar Rp500 ribu. “Awal-awal cuma Rp500 ribu, sekarang Alhamdulillah sudah Rp700 ribu. Ya Insya Allah, namanya rezeki nggak akan tertukar,” sahut Dedi.
Dedi mengaku sempat terbesit untuk mundur dari profesinya sebagai pengajar. Namun melihat semangat anak-anak, ia pun akhirnya tergerak tetap menjalani profesinya, meski setiap hari harus berjuang melewati jalanan terjal yang kadang membuat energinya terkuras habis.