Tito mengungkapkan, saat ini anggota kepolisian mengalami luka, namun tidak meninggal dunia atas ledakan itu.
Ia mengemukakan bahwa kelompok yang melakukan aksi di Polrestabes Surabaya itu merupakan bagian dari kelompok yang sama yang melakukan aksi di tiga gereja di Surabaya, Minggu (13/5), yakni kelompok sel Jamaah Ansharud Daulah (JAD) di Surabaya.
“Kenapa aksinya di Surabaya? Karena mereka menguasai daerah ini. Mengapa mereka melakukan aksi ini? Karena pimpinan mereka ditangkap. Instruksi juga dari ISIS sentral di Suriah,” ucapnya.
Jika dirinci dari kejadian sejak Minggu (13/5) hingga kemarin, totalnya sudah tujuh anak yang ‘ditumbalkan’ orang tuanya sendiri.
Polisi juga berhasil mengidentifikasi jenis bom yang meledak di sejumlah lokasi di Surabaya dan Sidoarjo. Bom tersebut berjenis bom pipa dengan bahan peledak triacetone triperoxide (TATP), yang termasuk high explosive.
Menurut Tito, dari rentetan kasus bom sejak Minggu (13/5) ditemukan jenis bom yang sama, yaitu berbahan peledak TATP. Menurut Tito, bom jenis itu memang lekat dengan kelompok ISIS. "Bahan peledaknya diduga TATP yang dikenal di kalangan kelompok ISIS di Suriah dan Irak," kata Tito.
Tito menyebut bahan peledak TATP itu sangat berbahaya sehingga mendapat julukan yang cukup seram. "Saking bahayanya, dinamakan 'The Mother of Satan' karena daya ledaknya tinggi," imbuh Tito. Selain itu, Tito mengatakan, jenis bom tersebut berbeda dengan bom berjenis TNT atau trinitrotoluene karena diperlukan detonator untuk meledakkannya. "Di sini (TATP, red) dengan guncangan atau panas bisa meledak sendiri," kata Tito.
Sementara seorang mantan teroris, Sofyan Tsauri, angkat bicara soal keterlibatan anak-anak sebagai ‘pengantin’ bom bunuh diri.
Menurutnya, dengan penggunaan anak-anak, jaringan teroris ingin menyampaikan pesan terselubung kepada masyarakat.
"Pesannya jelas, wanita saja bisa. Ini provokasi agar para pria bisa lebih giat lakukan perlawanan pada pemerintah atau target," ujar Sofyan.
Sofyan menambahkan, keluarga yang melakukan aksi bom bunuh diri ini merupakan korban ideologi dan pemahaman yang salah.
Para pelaku menganggap apa yang mereka lakukan adalah jihad. Karena itu, lanjut Sofyan, pemerintah harusnya mempriotaskan pada pengubahan ideologi dan mindset. "Ideologi harus di-clear-kan melalui beberapa kali terapi," ujar Sofyan yang pernah ditahan karena kasus terorisme ini.
(tib/feb/run)