bogor-raya

Kerjaan Setengah Miliar Tak Dibayar, Janda 4 Anak di Bogor Cari Keadilan

Rabu, 22 Mei 2024 | 18:51 WIB
Tampak depan ruang mediasi di PN Bogor.

"Gali lubang kita bikin plang cakar ayam, semuanya itu juga memerlukan biaya tukang. Tenaga, pikiran, semuanya sudah kami lakukan. Kami cuma minta seusai SPK hak kami, jangan terlalu. Kita sama-sama manusia," sambung Hani.

"Saya jual mobil, dana dari bank, rumah saya juga, dari tahun 2021. Karena waktu itu 4 bulan target harus susah selesai. Kami hanya meminta keadilan kami saja," lanjut perempuan berhijab itu.

Ia pun memberikan kebebasan kepada pihak perusahaan untuk menghitung sendiri pekerjaan yang sudah dilakukan pihaknya.

"Kita sudah kasih penawaran, keleluasaan mereka untuk mengukur menghitung yang kami bangun. Kami hanya meminta seusai harga pasaran di situ. Dikalikan dengan harga kesepakatan 2,75 juta," ungkap dia.

"Dan itu (harga) berapa tahu lalu. Sekarang sudah Rp3,5 juta. (Rp2,75 juta) Sudah seperti rumah subsidi kalau sekarang," ujar janda 4 anak itu.

Sementara itu, kuasa hukum Hani, Adi Purnomo meminta tergugat untuk memenuhi kewajiban kliennya, sesuai dengan kontrak dalam SPK.

"Mereka meminta kalau sudah laku semua (pembayaran). Kalau begitu sampai kami mati akan dibilang belum laku, ini tidak adil. Kita sama-sama manusia, sama-sama cari nafkah, kita hanya minta sesuai SPK," kata Adi Purnomo.

Sementara itu, kuasa hukum dari PT AMP, Rizki Maulana membenarkan jika pihaknya meminta penundaan mediasi ini. Karena, pihaknya ingin menghubungi penasehat hukum dari PT GIK terlebih dahulu.

"Tadi deadlock dan kami menyampaikan ke mediator, bahwa kami membuka ruang, dan dalam waktu 2 minggu kami coba untuk menghubungi PH-nya, tapi tidak pernah merespon," kata Rizki Maulana.

Sebab, diakui dia, dalam kasus ini kliennya juga merupakan korban. Karena, sebelum take over dilakukan dengan PT GIK, pihaknya tidak mengetahui jika ada persoalan seperti ini.

"Kami juga sebetulnya di sini adalah korban, di mana kita take over (dari PT sebelumnya) inventaris dari aset. Klien kami juga habis lumayan banyak di situ," ucap dia.

"Dan perjanjian tersebut (dengan tergugat) kan terjadi sebelum adanya take over. Klien kami tidak mengetahui. Ketika take over ternyata banyak bermunculan permasalahan. Bahkan dia (PT GIK) menyatakan akan bertanggungjawab," sambungnya.

"Ketika kita take over, kita memiliki bukti, dan itu terjadinya pun akta notaris, menyatakan bahwa hubungan pihak ketiga lain jika ada suatu saat permasalahan, itu tanggung jawab direktur sebelumnya," ungkap dia.

"Itu ada di aktanya. Kenapa dituangkan di akta, karena penandatanganan akta, para pihaknya hadir dan direktur lamanya hadir. Makanya, kita di situ coba untuk bantu menyelesaikan gimana. Karena kan kami juga mengikuti aturan standarisasi nominal terkait dengan jumlah permeter ketika membangun rumah," tandasnya. (rez)

Halaman:

Tags

Terkini