guru-menulis

OPINI: Inovasi atau Anomali Haji?

Rabu, 19 November 2025 | 21:05 WIB
Dr. Desi Hasbiyah (Dok pribadi)

Oleh: Dr. Desi Hasbiyah
Dosen Prodi Manajemen Haji & Umrah / Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Ibn Khaldun - Bogor
Pembimbing Ibadah Haji Profesional
Ketua Bidang Komunikasi Dan Informasi DPP FK KBIHU

PENYELENGGARAAN ibadah haji di Indonesia, selalu menjadi sebuah hajat besar bagi negara. Dan tidak aneh rasanya hampir di setiap tahun masyarakat dikagetkan oleh pemberitaan ibadah haji yang selalu membuat heboh. Terlebih tahun ini adalah tahun pertama pemerintah menyelenggarakan ibadah haji melalui Kementerian Haji dan Umrah setelah sekitar 40 tahun diselenggarakan oleh Kementerian Agama. Masyarakat berharap ada perbaikan yang signifikan dalam penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia setelah jatuh ke Kementerian Haji dan Umrah. Setelah tahun lalu berkelut dengan kebijakan 8 syarikah yang berhasil memisahkan banyak jemaah dengan rombongannya, kali ini problematika haji terdapat pada Kuota Haji.

Setelah puluhan tahun, merasa dalam zona nyaman dengan pembagian kuota haji reguler berdasarkan UU No. 14 Tahun 2025 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah pasal 13 ayat 2a, jemaah haji saat ini harus beradaptasi dengan perubahan kebijakan karena pemerintah mengenai pembagian kuota yang sebelumnya menggunakan pertimbangan proporsi jumlah penduduk muslim antar provinsi, kini memakai skema penghitungan kuota haji reguler yang berbeda dari tahun sebelumnya dengan menggunakan pasal 13 ayat 2b yakni mempertimbangkan proporsi jumlah daftar tunggu Jemaah Haji antar provinsi. Salah satu provinsi yang terdampak dalam kebijakan ini serta mengalami pengurangan kuota secara signifikan adalah Jawa Barat. Bagaimana tidak, kuota yang semula berjumlah 38.723 sekarang menjadi 29.643 dengan rincian 27.833 Jemaah haji, 1.482 Prioritas Lansia, dan 205 Pembimbing KBIHU dan 123 PHD. Tentu secara otomatis dampak juga dirasakan oleh Kabupaten Bogor dengan kuota asal sebanyak 3189 saat ini menjadi 1598 jemaah dan kuota haji Kota Bogor yang semula 929 kini menjadi 603 jemaah.

Setiap kebijakan baru selalu melahirkan dua persepsi, bisa dianggap sebagai inovasi karena membawa pembaruan dengan cara baru, metode baru, atau mekanisme baru yang dianggap lebih efektif, efisien, dan sesuai tuntutan kebutuhan, atau dinilai sebagai anomali penyimpangan dari cara lama yang sudah mapan, sehingga memunculkan kejutan sosial atau resistensi. Kejutan-kejutan inilah yang saat sedang dirasakan oleh Jemaah Haji asal Bogor. Semula bahagia melihat pada aplikasi Satu Haji akan berangkat pada tahun ini, harus menelan rasa sedih dan kecewa karena harus mundur ke tahun-tahun berikutnya. Padahal mereka juga sudah menunggu hingga belasan tahun lamanya. Maka tak heran jika saat ini ribuan Jemaah Haji asal Bogor mengalami kondisi psikosomatis yakni perasaan ketika harapan tidak terpenuhi, manusia mengalami tekanan emosional (stres, kecewa, marah, cemas). Jika tekanan ini tidak tersalurkan atau ditahan, tubuh merespons melalui sistem saraf dan hormon stres, sehingga memunculkan gejala psikosomatis. Dalam aplikasi teori Cognitive Appraisal (Lazarus & Folkman, 1984), penundaan keberangkatan haji ini dipersepsi sebagai threat (ancaman) terhadap harapan religius dan emosional. Dalam psikologi religius, kecemasan jemaah haji akan menimbulkan pertanyaan "Apakah saya masih sempat berangkat sebelum saya meninggal?" karena meyakini bahwa melaksanakan ibadah haji adalah ibadah puncak perjalanan spiritual (religious coping). Mungkin pertanyaan ini yang akan banyak muncul pada Jemaah Haji yang sedang mengalami sakit atau masuk kedalam kategori lansia.

Namun, disisi lain, Thomas Kuhn (1962) menyebut anomali sebagai pemicu perubahan paradigma. Artinya, sesuatu yang awalnya tampak janggal justru bisa menjadi dasar lahirnya sistem baru yang lebih baik. Maka perubahan skema penghitungan kuota haji bisa dianggap sebagai inovasi dalam mewujudkan asas keadilan sesuai amanah UU. Walaupun pada dasarnya keadilan tidak akan mencapai 100%, tetapi penghitungan ini yang dianggap paling mendekati keadilan. Menurut Kemenhaju RI kebijakan kuota diberlakukan demi kemaslahatan bersama, untuk memastikan ibadah haji dapat berjalan tertib, aman, dan lancar bagi jutaan jemaah dari seluruh dunia. Maka cara ini yang dianggap sebagai inovasi atau pembaruan yang membutuhkan waktu untuk masyarakat bisa beradaptasi. Dalam teori difusi inovasi yang dikemukakan oleh Everett M. Rogers (1962) mengatakan bahwa ide, gagasan, atau teknologi baru akan menyebar dalam suatu sistem sosial seiring waktu, dan waktu yang dibutuhkan seseorang atau kelompok untuk beralih dari tahap pengetahuan awal hingga keputusan akhir untuk mengadopsi atau menolak inovasi sangat bervariasi.

Lalu siapa yang akan bertanggung jawab terhadap kondisi psikologi Jemaah haji yang mengalami dampak pengurangan kuota ini? pembimbing ibadah haji dan para tokoh masyarakat yang bersentuhan langsung dengan Jemaah Haji (grass root). Jemaah Haji adalah pihak yang paling merasakan dampak dari kebijakan ini. Agar waktu yang diperlukan jemaah dalam kondisi psikosomatis ini tidak terlalu berkepanjangan, maka para pembimbing ibadah haji dan tokoh masyarakat ini perlu melakukan pendekatan eksistensial seperti konseling, motivatoring dan pendampingan secara psikologis dan religius dengan pendekatan teologis untuk menjaga ketenangan hati jemaah dan memastikan mereka tetap optimistis akan keberangkatan di masa mendatang.

Pendekatan dapat dilakukan dengan membangun kembali: (1) kesadaran tentang Konsep Istitha'ah (Kemampuan) dalam ibadah haji yang menjadi wajib bagi yang mampu (istitha'ah). Kemampuan ini mencakup fisik, finansial, dan juga adanya keamanan serta kemudahan jalan. Kebijakan kuota dan penundaan merupakan bagian dari ketiadaan "kemudahan jalan" yang berada di luar kendali jemaah. Oleh karena itu, penundaan ini tidak menggugurkan kewajiban, tetapi menangguhkannya hingga kondisi memungkinkan; (2) kesadaran bahwa haji bukan kewajiban yang harus segera dilaksanakan (Fauri). Sebagian ulama berpendapat bahwa kewajiban haji bersifat 'ala at-tarakhi (boleh ditunda). Penundaan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat dalam beberapa kesempatan menjadi dalil bahwa haji tidak harus dilaksanakan segera setelah mampu, memberikan kelonggaran dalam menghadapi situasi seperti keterbatasan kuota; (3) Kesadaran bahwa pahala sesuai niat (Innamal a'malu binniyat). Jemaah yang telah mendaftar, melunasi biaya, dan berniat tulus untuk berhaji, namun terhalang oleh faktor eksternal (seperti kuota), akan tetap mendapatkan pahala haji di sisi Allah SWT. Niat baik mereka telah dicatat, dan kondisi penundaan adalah ujian dari-Nya; (3) Kesadaran untuk menerima Qada dan Qadar (Takdir). Penundaan ini dapat dipandang sebagai bagian dari takdir atau ketetapan Allah SWT. Menerima kenyataan ini dengan lapang dada dan sabar adalah bentuk keimanan yang tinggi. Allah SWT berfirman bahwa setiap amal tergantung pada niatnya, dan jika seseorang meninggal dalam masa penantian, insya Allah hajinya telah dianggap terlaksana; (3) Pendalaman hikmah di balik penundaan, dimana jemaah dapat meningkatkan kualitas ibadah dengan mendalami manasik haji, memperbaiki akhlak, dan meningkatkan ibadah harian. Mengingatkan bahwa ini bagian dari ujian Kesabaran yang dapat meningkatkan derajat keimanan seseorang dan persiapan kesehatan Jemaah Haji, terutama yang lanjut usia. Mereka memiliki waktu lebih lama untuk mempersiapkan kondisi fisik dan mental agar lebih siap saat keberangkatan tiba.

Selamat mengemban tugas baru untuk para pembimbing ibadah haji dan para tokoh masyarakat dalam mewujudkan masyarakat literasi haji !!!

Wallahualam bish shawaab

Tags

Terkini

OPINI: Inovasi atau Anomali Haji?

Rabu, 19 November 2025 | 21:05 WIB

Pahlawan Hari Ini

Senin, 10 November 2025 | 09:27 WIB

UMKM Naik Kelas

Selasa, 30 September 2025 | 20:36 WIB