Oleh: Xeviola Rhytma Jazzyra (Mahasiswi Prodi Sains Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Fisip Universitas Djuanda)
Sumpah Pemuda merupakan letupan semangat para pemuda Indonesia yang bersatu padu mendeklarasikan kesetiaan pada satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan. Ikrar "satu nusa, satu bangsa, satu bahasa" bergema pada 1928 menjadi pondasi kokoh persatuan Indonesia.
Namun ironisnya, di lorong-lorong pendidikan yang harusnya menjadi benteng penjaga nilai-nilai kebangsaan, budaya tersebut justru sekarat. Kini senioritas tampak lebih dijunjung daripada semangat solidaritas kebangsaan.
Kondisi sekarang ini banyak anak menghabiskan masa pendidikan mereka di lingkungan yang tidak kondusif bagi tumbuhnya karakter bangsa yang mengutamakan persamaan dan persatuan. Ruang pendidikan yang idealnya menjadi tempat pembentukan karakter bangsa yang cerdas dan berintegritas, justru berubah menjadi arena tirani dan penyalahgunaan kekuasaan.
Data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungaan Anak (KemenPPPA) pada SIMFONI-PPA 2025 secara real time menunjukkan terdapat 1.482 kasus kekerasan seksual pada anak di bangku sekolah. Yang lebih memprihatinkan, hambatan utama dalam penanganan kasus perundungan dan kekerasan seksual ini justru datang dari kurangnya pemahaman masyarakat terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan hak-hak anak.
Tak jarang, upaya "perdamaian" justru mengorbankan prinsip keadilan, terutama ketika kekerasan melibatkan pelanggaran hukum oleh orang dewasa. Budaya senioritas toksik menciptakan lingkungan yang subur bagi terjadinya berbagai bentuk kekerasan.
Kode etik "senior selalu benar" dan kewajiban "menghormati tanpa reserve" menjadi alat legitimasi bagi pelaku untuk bertindak sewenang-wenang. Korban seringkali dibungkam oleh tekanan psikologis dan ketakutan akan dikucilkan. Sementara upaya "perdamaian" yang dipaksakan justru semakin mengukuhkan ketidakadilan. Praktik senioritas toksik tidak hanya berakibat pada trauma individu, tetapi lebih jauh lagi, merusak sendi-sendi solidaritas kebangsaan.
Pertama, budaya ini melahirkan mentalitas feodal yang bertolak belakang dengan semangat zaman. Siswa belajar bahwa kekuasaan dan senioritas lebih penting daripada kompetensi dan integritas. Kedua, solidaritas menjadi sempit, hanya terbatas pada sekat angkatan dan kelompok, bukan pada ikatan kebangsaan yang lebih luas.
Ketika di lingkungan pendidikan saja kita gagal menumbuhkan semangat persatuan yang egaliter, bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan terwujudnya solidaritas nasional yang kuat? Sumpah Pemuda 1928 lahir dari semangat untuk melampaui sekat-sekat kesukuan dan kedaerahan. Sementara praktik senioritas justru menciptakan sekat-sekat baru yang tidak kalah eksklusifnya.
Lantas, bagaimana kita merebut kembali semangat Sumpah Pemuda di lingkungan pendidikan?
Pertama, sekolah harus menerapkan kebijakan zero tolerance terhadap segala bentuk perundungan dan kekerasan, termasuk yang berkedok "tradisi" atau "senioritas". Kedua, perlu transformasi budaya dari senioritas toksik menuju budaya mentoring yang positif, di mana peran senior sebagai pembimbing dan panutan, bukan penguasa. Ketiga, pendidikan karakter perlu diorientasikan kembali pada nilai-nilai kebangsaan yang substantif, kesetaraan, saling menghargai, dan keadilan. Terakhir, penting membangun mekanisme pengaduan dan perlindungan yang aman bagi korban, disertai sosialisasi masif tentang hak-hak anak dan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasa Seksual (UU TPKS).
Upaya pencegahan perilaku toxic di sekolah dapat dilakukan dengan membangun budaya saling menghargai dan komunikasi yang sehat antar siswa. Berdasarkan Teori Interaksi Sosial George Herbert Mead, perilaku manusia terbentuk melalui proses interaksi dan pertukaran makna dengan orang lain, yang berarti perilaku terbentuk melalui interaksi dengan lingkungan sekitar.
Oleh karena itu, sekolah perlu menanamkan nilai empati, melatih siswa berkomunikasi asertif, serta menghadirkan kegiatan positif yang memperkuat hubungan sosial agar perilaku toxic dapat diminimalisasi.
Sementara itu, upaya pencegahan kekerasan di sekolah dapat dilakukan melalui pendidikan karakter, konseling, dan keteladanan guru. Teori Belajar Sosial Albert Bandura menjelaskan bahwa individu mempelajari perilaku melalui proses observasi, peniruan, dan penguatan dari lingkungan sekitarnya, yang berarti perilaku agresif itu muncul karena siswa meniru perilaku yang mereka lihat. Maka, guru dan tenaga pendidik harus menjadi contoh penyelesaian konflik tanpa kekerasan, sementara pihak sekolah bekerja sama dengan orang tua untuk menanamkan nilai empati dan disiplin agar lingkungan sekolah tetap aman dan harmonis.