Minggu, 21 Desember 2025

OPINI: Melampaui Seruan, Mengubah Semangat Sumpah Pemuda Menjadi Aksi Konkret untuk Keadilan Perempuan

- Kamis, 30 Oktober 2025 | 14:39 WIB
Muliana Hasea Sihotang, Mahasiswi Prodi Sains Komunikasi FISIP Universitas Djuanda (Dok pribadi)
Muliana Hasea Sihotang, Mahasiswi Prodi Sains Komunikasi FISIP Universitas Djuanda (Dok pribadi)

Oleh: Muliana Hasea Sihotang, Mahasiswi Prodi Sains Komunikasi FISIP Universitas Djuanda

SETIAP bulan Oktober perayaan Sumpah Pemuda menggema di masyarakat. Kita disajikan cerita heroik yang mengisahkan persatuan, pengorbanan, dan idealisme generasi muda tahun 1928.

Namun, di balik kemeriahan perayaannya, terdapat pertanyaan penting yang perlu dijawab: Apakah semangat “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa” telah terwujud dalam bentuk keadilan yang nyata, terutama bagi keadilan perempuan Indonesia?

Baca Juga: Semangat Sumpah Pemuda Dan Tantangan Generasi Milenial

Nyatanya, tanah air yang diakui sebagai “tumpah darah” yang satu ini sering kali menjadi tempat yang tidak aman bagi kaum wanita sendiri. Berita-berita terbaru menjadi bukti nyata yang menyedihkan.

Kasus pelecehan seksual oleh seorang dosen, perjalanan panjang pencarian keadilan, serta kasus-kasus kekerasan dalam hubungan yang semakin viral menunjukkan bahwa tantangan persatuan dan keadilan kini muncul dalam bentuk kekerasan berbasis gender.

Inilah tantangan sesungguhnya bagi semangat Sumpah Pemuda di zaman sekarang.

Baca Juga: Menjadi Pemuda Masa Kini, Menghidupkan Semangat Sumpah Pemuda di Tengah Tantangan Zaman Digital

Jika dahulu generasi muda bersatu melawan penjajah, maka saat ini lawan yang harus dilawan adalah mentalitas patriarki, budaya menyalahkan korban (victim blaming), dan sistem yang sering mengabaikan.

Sumpah Pemuda tidak hanya merupakan kenangan sejarah; tetapi ajakan untuk bertindak. Bagaimana kita bisa mengklaim “Satu Bangsa” jika setengah dari bangsa—perempuan—masih hidup dalam ketakutan dan ketidakadilan?

Munculnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) adalah sebuah langkah maju yang baik. Namun, Undang-Undang (UU) ini bukanlah jawaban akhir, melainkan alat.

Tanpa perubahan pola pikir di seluruh lapisan masyarakat, UU tersebut akan kurang efektif. Saatnya bagi pemuda sebagai penerus semangat 1928, untuk bergerak lebih jauh dari sekadar seruan.

Apa yang dapat kita lakukan? Pertama, mengalihkan Narasi dari Bawah ke Atas. Semangat Sumpah Pemuda berasal dari kesadaran bersama. Pemuda perlu menjadi garda depan dalam mempromosikan budaya “persetujuan” dan menghentikan normalisasi kekerasan dalam segala bentuk. Diskusi di ruang kelas, konten kreatif di media sosial, dan percakapan di komunitas harus lebih intens membahas isu kesetaraan dan penghormatan ketimbang membahas penampilan atau perilaku korban.

Kedua, Membangun Jaringan Dukungan yang Solid. Pemuda tahun 1928 bersatu dalam organisasi. Pemuda masa kini perlu bersatu dalam solidaritas untuk membantu korban. Bukan dengan berperan sebagai hakim, tetapi sebagai pendengar yang peka dan pendamping yang aktif. Dirikan jaringan relawan yang memahami prosedur pelaporan dan pendampingan korban adalah contoh nyata dari “Satu Nusa”.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Tags

Artikel Terkait

Terkini

OPINI: Inovasi atau Anomali Haji?

Rabu, 19 November 2025 | 21:05 WIB

Pahlawan Hari Ini

Senin, 10 November 2025 | 09:27 WIB

UMKM Naik Kelas

Selasa, 30 September 2025 | 20:36 WIB
X