Minggu, 21 Desember 2025

BPKPD Kota Sukabumi Tertutup Soal Data Pengemplang Pajak, DPRD Bandingkan dengan Kabupaten Bogor

- Kamis, 31 Juli 2025 | 08:25 WIB
Anggota Komisi II DPRD Kota Sukabumi, Inggu Sudeni. (Ist)
Anggota Komisi II DPRD Kota Sukabumi, Inggu Sudeni. (Ist)


METROPOLITAN.ID
– Komisi II DPRD Kota Sukabumi menyoroti sikap Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah atau BPKPD Kota Sukabumi yang dinilai tertutup terkait data wajib pajak (WP) bermasalah.

Anggota Komisi II DPRD Kota Sukabumi, Inggu Sudeni, menilai sikap BPKPD menghambat upaya pengawasan dan optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Menindaklanjuti sikap tertutup BPKPD Kota Sukabumi, Komisi II melakukan kunjungan kerja ke beberapa daerah untuk melihat praktik transparansi di tempat lain.

Salah satu daerah yang dikunjungi adalah Kabupaten Bogor.

"Kami ingin tahu apakah wajar jika BPKPD tidak membuka data WP yang berpotensi mengemplang pajak kepada DPRD sebagai mitra kerjanya. Ternyata di Kabupaten Bogor, Bapenda Kabupaten Bogor justru sangat terbuka terhadap DPRD mereka," kata Inggu membandingka, Rabu, 30 Juli 2025.

Menurut Inggu, Bapenda Kabupaten Bogor bahkan menjalin kerjasama aktif dengan DPRD untuk mencari solusi atas masalah pajak yang tidak tertagih.

Bahkan data wajib pajak bermasalah bisa diakses oleh DPRD sebagai lembaga negara, demi kepentingan pengawasan dan peningkatan PAD.

"Kami tidak meminta data itu sebagai individu, melainkan sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi pengawasan," ungkapnya.

Hal serupa juga ditemui Ingunsaat kunjungan ke Kota Bandung.

Di sana, kepala Bapenda justru secara terbuka menyebut nama wajib pajak yang dianggap bermasalah kepada kami saat kunjungan tersebut.

Masalah ini mencuat setelah Komisi II DPRD Kota Sukabumi menemukan dugaan pengemplangan pajak oleh salah satu rumah makan besar di kota Sukabumi.

Temuan awal menunjukkan adanya potensi kehilangan pendapatan daerah yang cukup signifikan.

"Kami hitung, seharusnya potensi setoran pajak dari tempat itu bisa mencapai Rp60 juta hingga Rp70 juta per bulan. Tapi yang masuk ke kas daerah hanya sekitar Rp12 juta," terang Inggu.

Inggu menilai, data omzet yang dilaporkan tidak masuk akal jika dibandingkan dengan harga jual makanan yang tinggi dan ramainya konsumen di tempat tersebut.

Ia menegaskan, kondisi ini menunjukkan potensi kebocoran PAD yang cukup besar.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X