METROPOLITAN.ID - Jembatan Haji Endang yang menghubungkan Desa Anggadita (Kecamatan Klari) dan Desa Parungmulya (Kecamatan Ciampel), Karawang, kini tengah menjadi perbincangan hangat di media sosial (medsos).
Jembatan apung yang dibangun secara mandiri oleh tokoh masyarakat setempat, Haji Endang Junaedi, ini telah melayani warga selama lebih dari 15 tahun.
Lalu bagaimana sejarah dan kontroversi Jembatan Haji Endang di Karawang?
Sejarah Jembatan Haji Endang
Mengutip berbagai sumber, awalnya jembatan ini dibuat sebagai solusi keterbatasan akses warga yang terpisah Sungai Citarum.
Dengan konstruksi dari 11 perahu ponton logam yang disatukan dan dilapisi alas jalan, jembatan ini memungkinkan kendaraan roda dua menyeberang.
Setiap hari, sekitar 10 ribu pengguna melintasinya dengan tarif Rp2.000. Hasil dari tarif ini digunakan untuk membayar karyawan dan merawat jembatan.
Kontroversi Jembatan Haji Endang
Namun, keberadaan jembatan ini kini dipersoalkan oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum.
Alasannya, jembatan ini dibangun tanpa izin resmi dan melanggar ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air serta Permen PUPR Nomor 28 Tahun 2015.
BBWS menilai keberadaan jembatan bisa mengganggu aliran sungai terutama saat debit air meningkat atau terjadi banjir.
Mengutip berbagai sumber, Kepala BBWS Citarum, Dian Al Ma’ruf, menyatakan bahwa izin bisa diperoleh dengan cepat selama persyaratan dipenuhi, dan prosesnya tidak lebih dari tujuh hari.
Ia juga menegaskan pentingnya pengawasan terhadap fasilitas di wilayah sungai demi keselamatan bersama.