Usai beristirahat sejenak, pendakian dilanjutkan ke Puncak Gunung Gede. Bima-Dedie membutuhkan waktu sekitar 40 menit untuk mencapai puncak dari Alun-alun Suryakancana. Sampai di atas ketinggian 2.958 mdpl, keduanya tampak takjub dengan panorama alam dan bau kawah yang menusuk hidung.
“Naik Gunung Gede kamarin itu ada tiga maknanya. Pertama, hasil tidak pernah mengingkari proses. Semua ada perjuangannya. Jadi tidak ada jalan pintas menuju puncak. Tidak ada jalan singkat menuju ke atas. Ini pesan untuk anak muda dan semuanya, tidak ada yang dadakan,” kata Bima.
Kedua, lanjutnya, mendaki itu seperti mencintai. Bukan puncak gunung yang ditaklukkan tapi ego diri sendiri. “Mendaki gunung itu belajar berdamai dengan hati. Mengelola hati dan ego supaya bisa jalan seiring. Mencitai juga begitu. Bukan menaklukkan yang dicintai tapi berusaha memahami yang dicintai. Berdamai dengan hati kita supaya bisa berdamai dengan orang lain. Bogor pun begitu. Mencintai Kota Bogor berarti memahami diri kita. Apa yang kita bisa berikan untuk Kota Bogor,” bebernya.
Yang ketiga, bagi Bima, mendaki itu sebagai simbol bahwa seorang pemimpin itu harus memiliki fisik yang prima. “Karena persoalan itu lebih banyak di lapangan. Jadi kita harus lebih banyak di lapangan daripada di balik meja. Lahir batin harus prima. Bukan hanya wali kota tapi kepala dinas, camat, lurah, fisiknya harus prima. Tidak mungkin menaklukkan puncak gunung kalau fisiknya tidak prima,” ujar pria kelahiran Bogor, 17 Desember 1972 itu.
Puas mendekat dengan alam dan mensyukuri segala ciptaan-Nya, tim pun kembali turun ke pos Gunungputri, Cipanas, untuk bergegas menuju Kota Bogor. Tak lupa, sampah-sampah yang tim hasilkan dibawa kembali ke bawah. Salam lestari!
(ads/dik/c/run)