Kehidupan perkawinan kami amat indah, kalau di rumah nyaris kami tak bisa berjauhan. Karena tiap hari bagi kami adalah bulan madu, maka hanya setahun kemudian lahirlah anak pertama kami. Bayi laki-laki itu kami beri nama‘Faisal’. Mas Fariz yang membacakan Azan dan iqomat sesaat setelah bayi kami lahir.
Aku merasa lengkap sudah kebahagiaanku. Tiap hari aku tambah bahagia bisa merasakan ada 2 orang “Fariz” di dalam rumahku. Saat mas Fariz ke kantor, aku di temani Fariz kecil, bayiku. Oh alangkah bahagianya. Aku mencintai 2 orang yang sama darah dagingnya. Tiga tahun sudah anak kami hadir bersama kami. Mas Fariz terus bercita2 ingin mendatangi orangtuaku, oma opa si Faisal. Dia benar-benar ingin memperkenalkan cucu mereka dan menyatukan aku dengan papa mamaku lagi.
Dia berharap dengan kehadiran Faisal, akan meluluhkan hati orang tuaku. Tapi tiap kali aku menelpon, papa mamaku masih bersikap seperti dulu. Bahkan waktu aku katakan bahwa mereka sudah mempunyai cucu dariku, mereka hanya menjawab, kalau mereka tidak merasa mempunyai keturunan dariku …Ohh! malangnya anakku. Aku amat sedih, teganya papa dan mamaku berkata seperti itu. Aku masih memaklumi apabila mereka membenciku, tapi jangan pada anakku, cucu mereka, darah daging mereka sendiri.
Mas Fariz hanya menyuruhku bersabar, dia percaya kelak papa dan mama akan menerima mereka. Tapi sebelum harapan mas Fariz terpenuhi, musibah mulai datang. Suatu ketika, mas Fariz pulang ke rumah lebih awal, dia cuma merasa nggak enak badan seperti masuk angin. Aku menyuruhnya segera istirahat dan tidur dan memberi obat penghilang sakit. Malam harinya, tubuhnya mulai panas dan menggigil.
Keesokan paginya aku mengantar dia ke dokter, waktu itu dokter hanya katakan kalau mas Fariz hanya demam biasa sehingga hanya diberi obat penurun panas dan disuruh istirahat. Tapi malamnya tubuhnya tetap panas, dan menggigil bahkan mengigau. Aku ajak mas Fariz untuk ke rumah sakit. Tapi dia menolak, karena dia bilang hanya demam biasa, dan tak ap-apa, beberapa hari pasti sembuh.