Senin, 22 Desember 2025

Hidup Merana Tapi Aku Pertahankan Agama Pilihanku (10)

- Sabtu, 17 Juni 2017 | 10:40 WIB

Sebenarnya ibu mertuaku amat baik dan sayang padaku. Tapi aku tahu diri tak mungkin selamanya bergantung pada siapapun. Aku harus bisa mandiri membesarkan anakku, satu-satunya hartaku yang tersisa. Aku pulang ke kota asalku dengan sisa uang yang aku punya. Lalu aku mengontrak rumah dan membuka toko kecil-kecilan di depannya.

KARENA masih terus berduka dan ter­bayang suamiku, sehingga aku kadang kurang memikirkan usahaku ini, sampai akhirnya usahaku bangkrut. Tokoku aku tutup, uangku habis untuk membayar tagihan para suplier barang, sementara penjualanku tak seberapa menguntung­kan. Aku sebenarnya tak pernah putus asa apapun aku jalani asal halal. Pernah aku coba jadi pelayan restoran, tapi ha­nya beberapa bulan, karena anakku tidak ada yang jaga. Sampai akhirnya aku benar-benar kehabisan uang, tidak sang­gup lagi membayar kontrakan.

Dengan membawa koper isi pakaian aku menggendong anakku, berjalan tanpa tu­juan. Aku bingung akan ke mana. Pernah terlintas di benakku untuk kembali ke kelu­argaku. Tapi justru dengan kondisi se­perti ini mereka pasti akan merasa menang. Mereka akan tertawa dan terus bisa menge­jekku seumur hidupku, bahwa aku gagal dalam memilih jalan hidup.

Akhirnya di tengah rasa putus asa, aku teringat masjid tempat dulu aku per­tama kali mengucapkan kalimat syaha­dat. Masjid itu memang bukan masjid raya di kota kami, tapi karena masjid yang tua dan bersejarah, maka banyak jemaah yang datang. Aku berpikir du­lu aku memulai jalan hidupku dari ma­sjid itu, sehingga kalaupun jalan hidup­ku berakhir aku ingin di masjid itu pula. Aku datangi masjid tersebut dan aku salat mohon petunjuk. Anakku ka­rena kelelahan tertidur di sampingku.

Aku tidak punya uang untuk membeli makanan. Akhirnya aku hanya bisa menangis.

Rupanya tangisku didengar seorang bapak dan beliau rupanya imam masjid tersebut dan dia pula yang dulu membimbingku membaca syahadat. Aku tidak lupa dengan wajahnya tetapi dia pasti sudah tidak ingat, karena wajahku tak sesegar dulu lagi. Se­waktu aku perkenalkan diriku dan aku kata­kan bahwa aku dulu mualaf yang beliau bimbing, dia langsung ingat tapi juga kaget dengan kondisiku yang seperti ini.

Akhirnya aku ceritakan semuanya pada beliau, sebab aku merasa tidak ada lagi orang di dunia ini yang aku jadikan san­daran hidupku. Setelah selesai mendengar ceritaku, dia menyuruh aku agar jangan pergi kemana-mana dan tetap tinggal di masjid, beliau juga menyuruh salah seo­rang jamaah untuk membelikan makanan untuk aku dan anakku.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

Nenek Sakit, Suami nggak Kerja, Anakku Lahir Prematur

Kamis, 23 Februari 2023 | 19:00 WIB

Suami Lebih Mementingkan Keluarganya, Aku Harus Gimana?

Selasa, 21 Februari 2023 | 19:00 WIB

Ibuku tak Pernah Akur dengan Suami dan Anak-Anak 3

Kamis, 16 Februari 2023 | 19:00 WIB
X