Senin, 22 Desember 2025

Hidup Merana Tapi Aku Pertahankan Agama Pilihanku (Habis)

- Jumat, 23 Juni 2017 | 09:25 WIB

Bagiku dia seperti diutus Tuhan untuk menolongku. Tidak lama kemudian aku mendapat kabar gambira, aku dipanggil menghadap ke rektorat universitas-nya untuk tes dan wawancara. Sebelum berangkat aku salat memohon kepada Allah agar diberikan kelancaran. Anakku aku titipkan pada Pak Tua yang memang sudah aku anggap sebagai orang tuaku sendiri.

Alhamdulillah semua tes kulalui dengan lancar bahkan saat wawancara bahasa Inggris, justru aku yang lebih menguasai bahasa Inggris dibanding yang mewawancaraiku. Dia sampai menyerah dan mengatakan bahasa Inggrisku sudah perfect melebihi kemampuan dia. Tidak sampai seminggu, Retno mendatangiku lagi, kali ini dia tampak gembira sekali, dia katakan dalam beberapa hari aku akan mendapat surat dari rektorat yang isinya penerimaan aku sebagai karyawan. Dia bisa lebih dulu tahu karena ada temannya yang bekerja disana. Langsung saja aku menuju masjid dan bersujud syukur lama sekali.

Aku merasa telah lulus segala tes yang diujikan Allah terhadapku. Memang kadangkala aku sering bertanya pada Allah, apakah karena aku mualaf sehingga Allah kurang percaya dengan keimananku, sehingga perlu mengujinya dengan ujian yang amat berat. Walau sebagai karyawan honorer tapi aku sudah bersyukur, yang penting aku sudah memperoleh penghasilan yang layak. Pekerjaanku membantu bagian keuangan di rektorat. Setiap ada seminar dan memerlukan makalah dalam bahasa Inggris pasti aku yang diberikan tugas tambahan untuk menyusunnya. Akupun banyak membantu menerjemahkan literatur asing untuk dipergunakan para mahasiswa.

Nyaris sejak tiga tahun terakhir, aku tidak pernah membeli baju baru. Dengan gajiku sekarang aku sudah bisa membeli lagi. Aku amat sangat senang bukan main, bisa membelikan pakaian yang bagus untuk anakku. Beberapa bulan kemudian aku sudah mampu mengontrak rumah sendiri. Sebelum aku meninggalkan masjid tersebut tidak lupa aku berpamitan ke rumah pak Imam. Aku pun sempat memandangi kamarku untuk terakhir kali, sempat beberapa menit aku tertegun, membayangkan, mungkin kelak ruangan ini akan dipakai oleh orang yang senasib seperti aku. Beberapa lama kemudian, aku diangkat menjadi karyawan tetap. Aku hanya bisa mengucap puji syukur Alhamdulillah. Andai dulu aku sering berdoa dengan linangan air mata kesedihan, sekarang pun aku masih sering menangis ketika berdoa, tapi kali ini aku menangis bahagia. Sampai saat ini aku masih sendirian, aku bertekad membesarkan anakku sebaik-bauiknya. Bagiku aku masih merasa istri mas Fariz. Masih sulit rasanya menggantikan dia dihatiku. Seperti yang aku pernah katakan, dia bukan hanya suami, tetapi soulmate ku dan tidak tergantikan. Tetapi entah kalau Allah mempunyai rencana lain untukku. Tiap memandang anakku, aku seperti melihat mas Fariz. Seperti dia masih mendampingiku.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

Nenek Sakit, Suami nggak Kerja, Anakku Lahir Prematur

Kamis, 23 Februari 2023 | 19:00 WIB

Suami Lebih Mementingkan Keluarganya, Aku Harus Gimana?

Selasa, 21 Februari 2023 | 19:00 WIB

Ibuku tak Pernah Akur dengan Suami dan Anak-Anak 3

Kamis, 16 Februari 2023 | 19:00 WIB
X