Senin, 22 Desember 2025

Ibu, Maafkan... Aku Menyesal Menikah Dengannya

- Selasa, 16 Januari 2018 | 08:51 WIB

-

Tepat didepanku berbaring seorang lelaki yang tertidur pulas tanpa bernafas. Lelaki yang telah memberikanku satu orang putra. Lelaki yang menikahiku karna ia menganggap bahwa aku anak orang berada. Seorang anak kepala desa yang mempunyai sebuah perusahaan kecil. Lelaki yang menghabiskan seluruh harta keluarganya sendiri. Hingga membiarkan kedua orangtuanya mengontrak disebuah rumah kecil.

Kain kafan menyelimuti badannya yang kurus kering. Dia menderita penyakit jantung dan lambung akut. Ku telisik dikeseluruhan wajahnya yang sudah pucat pasi. Aku tertunduk tanpa berurai air mata. Air mataku sudah menganak sungai sepanjang hidupku bersamanya. Entahlah, aku tak faham apa yang sedang aku rasakan saat ini. Haruskah aku bersedih? Ataukah bahagia?

Aku mengenalnya sekitar tujuh tahun yang lalu. Ketika dia mengontrak di rumahku. Panggil saja dia Rudi (nama samaran). Kebetulan ruangan bagian belakang rumahku kosong. Pada saat itu aku baru saja lulus kuliah dan baru masuk kerja pada sebuah perusahaan. Sesekali kami sering berbincang-bincang. katanya Ia sedang merintis sebuah usaha. Dia mudah bergaul dan langsung akrab dengan keluargaku. Meski keluargaku antipati padanya. Terutama ibu yang sedikit keberatan jika putri sulungnya ini terlalu dekat dengan lelaki itu. Karena ibu tahu betul latar belakang kehidupannya

Dia lulusan SMA sedang aku bertitel sarjana dan anak seorang kepala desa. Namun bukan itu yang membuat ibuku risih jika aku berdekatan dengan dia. Ibuku tidak pernah menilai sesorang dari harta, rupa ataupun tahta. Ibu hanya menginginkan putri sulungnya ini berteman dengan lelaki yang baik.

Aku mengerti apa yang ibu inginkan. Karena memang aku tak mempunyai perasaan apa-apa padanya. Aku hanya menganggapnya sebagai seorang abang tidak lebih. Namun entah mengapa lama-kelamaan ada semacam perasaan nyaman ketika berada disampingnya. Dan mulailah tumbuh perasaan sayang. Dan yang pasti entah mengapa aku tak bisa menolak ketika dia mengajakku untuk membina rumah tangga. Dengan tegas ibuku menolak. Tetapi aku tetap keukeuh pada pendirianku untuk menikah dengan lelaki yang aku cintai.

Semenjak ayah meninggal, tak ada tempat untuk mengadu dan meminta saran bijaksana darinya. Aku tetap ngotot dan terkadang sedikit kasar pada ibu, hingga pada akhirnya ibu menyerah dan membiarkan aku memilih jalan hidupku sendiri. Pernikahan kami cukup sederhana. Tak ada pesta mewah, hanya keluargaku dan keluarga calon suamiku yang hadir. Aku mendengar suara-suara sumbang dari keluarga besarku bahwa pernikahanku dengan lelaki itu tak akan bertahan lama. Aku tak menggubris dan hanya berdoa semoga apa yang mereka katakan tak pernah terjadi dan semoga dia bisa menjadi suami yang bertanggung jawab.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

Nenek Sakit, Suami nggak Kerja, Anakku Lahir Prematur

Kamis, 23 Februari 2023 | 19:00 WIB

Suami Lebih Mementingkan Keluarganya, Aku Harus Gimana?

Selasa, 21 Februari 2023 | 19:00 WIB

Ibuku tak Pernah Akur dengan Suami dan Anak-Anak 3

Kamis, 16 Februari 2023 | 19:00 WIB
X