Tujuh tahun menikah bukanlah hal yang patut dibanggakan. Terutama jika kehidupan berumahtangga yang dijalani tidak seperti yang dicita-citakan dulu.
AKU bangga dengan suamiku, sebut saja namanya Anto. Awal pernikahan kami bagai dongeng, bahagia seperti putri raja. Kami menikah tanpa meminta restu orangtua Anto, hanya kakak Anto saja yang tahu, karena dia tidak ingin menikah buru-buru maka Anto melangkahinya.
Menginjak pernikahan ke tujuh aku hamil anak kedua. Di tahun ini pula Anto mulai macam macam. Perilakunya berubah drastis. Kebetulan waktu itu dia habis dapat warisan ratusan juta. Mungkin baru merasakan dapat uang banyak membuat suamiku berpikir untuk senang-senang dengan wanita lain.
Akhirnya dia berselingkuh dengan janda anak satu. Ternyata hari sabtu ketika libur Anto lebih senang berpacaran dengan janda itu. Padahal ijinnya dia mau bekerja atau cari-cari rumah. Singkat kata ketika bayiku lahir semua terkuak. Warisan Anto habis untuk si janda itu, sementara cita-cita beli rumah tidak kesampaian.
Hancur hatiku, dengan kekuatan yang tersisa aku membela Anto di depan keluargaku. Namun tiga bulan kemudian Anto mulai bermain api lagi dengan teman kuliahnya dulu. Istri orang beranak dua. Mereka kerap berkencan mesra via whatsapp dan sesekali check in di Bandung. Habis kesabaranku, hampir kulayangkan surat perceraian. Kulabrak mereka dan memberi tahu semua kelakuan kepada suami selingkuhannya.
Di saat inilah aku kembali bertemu dengan Dave, teman email 17 tahun. Meski tak pernah face to face, tapi kami merasa sangat dekat. Dave juga baru saja bercerai. Entahlah tiba tiba aku ingin menikah dengan Dave.
