Hidup terkadang dirasa tak adil ketika kita melihat ke atas. Namun hidup terasa beruntung jika kita melihat ke bawah. Begitu pula yang aku alami selama ini. Andai alur hidup ini bisa ku putar kembali mungkin aku tak akan menyesali semuanya. Tapi nasib berkata lain, seperti kata pepatah siapa yang menuai, dialah yang akan memetik hasilnya nanti.
Aku adalah seorang wanita berumur 23 tahun, menikah di usia yang cukup muda 3 tahun yang lalu dan sudah memiliki satu anak berumur 2 tahun. Aku tak menyesali akan kehadiran seorang anak di hidupku, karena bagiku berkat anakku lah hidupku menjadi berarti dan aku sangat menyayangi anakku melebihi diriku sendiri.
Kesedihanku bermula saat suamiku tak mempercayai bahwa anak yang aku kandung adalah hasil dari buah cinta kami dan aku berjuang untuk mempertahankannya. Tak sampai disitu, sebelum menikah pun, saudara suami selalu menceritakan mantan pacar suamiku kepadaku, seolah-olah diri ini merasa dibanding-bandingkan.
Sedih bercampur amarah itu semakin menjadi ketika ingat waktu pacaran, suamiku pernah menceritakan kenangan manis dan buruknya bersama mantan kekasihnya, terlebih lagi jika ku ingat bahwa suamiku pernah melakukan hubungan intim dengan mantannya itu. Dan dia menceritakan itu semua dengan senang hati tanpa memikirkan perasaanku.
Begitu juga dengan keluarga suami yang masih terus membicarakan mantan suamiku itu, hati istri mana yang tak sakit mendengarnya? Sungguh sulit menjadi pribadi yang ikhlas, namun sangat mudah selalu mencoba untuk kuat dan bertahan. Sampai detik ini masalah selalu bermunculan, dan aku selalu mengungkit masa lalunya setiap kali bertengkar.
Kemarahanku semakin memuncak disaat harus tinggal dengan mertua dalam kondisi hamil dan statusku sebagai mahasiswa semester akhir kutinggalkan sejenak, aku mengambil cuti, karena jarak tempat kerja suami dan kampusku jauh.
Hampir setahun tinggal dengan mertua dalam kondisi hamil hingga melahirkan, tak ada kebahagiaan yang ku rasa sedikitpun, aku merasa teraniaya dan disakiti, dikala setiap waktu ibu mertuaku menyuruhku melakukan semua pekerjaan yang belum pernah kulakukan sebelumnya.
Aku kadang merasa menyesal menikah dengan suamiku. Aku berasal dari latar belakang keluarga yang cukup baik secara ekonomi dan dipandang baik dikalangan masyarakat. Orangtua dan saudaraku terkenal dengan pendidikannya yang tinggi dan pekerjaan yang baik, berbanding terbalik dengan kehidupan keluarga suamiku. Bukan maksud membandingkan, tapi sekarang baru aku mengerti bahwasanya apa yang dikatakan orangtua itu selalu benar, carilah calon pendamping hidup yang bibit bebet dan bobotnya bagus, dan kamu akan bahagia. (Bersambung)