Suamiku teramat kaget karena usia kehamilan Riri dan jenis kelaminnya perempuan. Dulu Riri selalu bilang anaknya lelaki ketika dia minta uang untuk USG. Ketika itu Riri pun menolak diantar suamiku.
Setelah beberapa hari Riri kos sendiri, dia pamit kepada orang tuanya kalau dia bekerja di sebuah show room motor. Orang tuanya mengizinkannya. Di sinilah waktunya aku berperan. Aku membiayai segala kebutuhan Riri. Setiap minggu aku mengirimi uang buat Dara, anaknya. Saat Riri kos aku depresi, takut terjadi apa apa. Namanya juga ngurusi orang hamil tua, tanpa sepengetahuan orang tuanya. Tempat kosnya pun jauh dari rumahku. Adanya di lantai 2 dengan tangga sempit.
Pikiranku sangat kotor, nanti bagai mana kalau Riri jatuh dari tangga, bagaimana kalau ’dikerjain’ tetangganya, karena lingkungannya aku rasa bukan lingkungan yang benar, bagaimana kalau nanti terjadi apa-apa waktu melahirkan? Aku stres dibuatnya.
Akhirnya waktu melahirkan tiba. Karena melahirkan secara sesar, jadi sudah dijadwalkan oleh dokter ketika pertama kali aku ajak periksa yaitu Senin. Aku pun mengantarnya, mengurusinya dan membiayainya. Setelah dokter membolehkan, kami pulang. Riri dijemput dua temannya. Atas kesepakatan kami berdua sejak dulu anaknya aku ambil.
Aku jemput Riri pulang, tadinya Riri tidak mau satu mobil dengan kami, dia minta dicarikan taksi. Karena taksinya tidak ada, Riri terpaksa mau diantarkan pulang oleh kami. Akhirnya Riri dan teman-temannya turun di sebuah restoran untuk makan. Di situlah kami berpisah. Aku pesankan mereka makanan dan aku kasih uang buat Riri dan tanda tangan surat adopsi anaknya. Akhirnya kami berpisah.
Aku pulang bersama anaknya. Sampai saat ini anaknya aku rawat dengan baik. Anaknya tumbuh menjadi anak yang cantik. Suamiku sangat menyayanginya. Tapi, kenapa sampai saat ini rasa sakit hatiku tidak pernah hilang? Seolah kebahagiaanku telah direnggut olehnya.
Rasa sakit hatiku ketika suamiku mengkhianatiku, meski aku tahu suamiku hanya dijebak. Suamiku yang dituntut hampir tujuh bulan seolah-olah miliknya. Sakit hati karena ingin menyingkirkanku dari dunia ini. Sampai saat ini luka hatiku belum juga sembuh. Aku ingin belajar bangkit dari keterpurukan ini. Aku tahu suamiku pasti merasakan sakit hati yang amat dalam. Maaf Riri sampai saat ini aku masih sangat membencimu. Entah sampai kapan kebencianku akan hilang terhadapmu. (cer/mam/py)