Keikhlasan Ayah Memperbaiki Becak (6) LALU kakakku juga mengabarkan ke seluruh sodara yang ada di luar kota. Beginikah rasanya kehilangan seorang ayah? Sakit, tapi dalam hidupnya juga tidak membuatku senang sama sekali. Rasa ini bercampur aduk. Ibuku yang paling terpukul dengan kejadian ini. Sesosok ibu yang sangat tangguh dan penyabar pun tak kuasa bila dihadapkan dengan kematian. 3 hari 3 malam ibuku terus saja menangis. Dia masih tidak terima, tidak ada sakit apa-apa yang menjangkitnya. Pagi juga masih bekerja di kebun, malam juga masih makan. Secepat itukah kematian menghampiri? Hari demi hari berlalu. Kami mengenang semua jasa yang pernah dilakukan oleh ayakku dulu ketika masih hidup. Semua keluarga juga berkumpul di rumah ibu, dari kakak yang pergi merantau ke Malaisya dan Surabaya. Ibuku mencertikan semua dibalik apa yang ayahku lakukan, dia berkata : “Ayahmu sungguh mulia, dia rela membenahi becak-becak yang rusak miliki temannya itu bukan suatu hal yang percuma. Dia punya prinsip yang baik. Pernah bilang sebelum kematiannya, ibu tanya kenapa terus-terusan melakukan pekerjaan yang tidak di bayar itu. Dia berkata : ‘kalau becak-becak itu tidak segera diperbaiki, maka mereka tidak bisa mencari uang. Sedangkan mereka butuh uang untuk makan. Dan mereka hanya bekerja sebagai tukang becak’” Dari situ aku baru mengerti, sungguh tulus perbuatan yang dia lakukan, Dia tau keluarga kami dari kolongan yang tidak punya, tapi dia melihat temannya lebih membutuhkan sehingga rela mengorbakan dirinya sendiri untuk orang lain. Dia juga tau kalau pemilik becak-becak itu tidak akan sanggup membayar uang sehingga tidak diperbaiki di bengkel, dari sana juga ayahku tak pernah memberikan tarif bagi mereka.