Sehingga, pendapatan hakim di Indonesia saat ini sudah sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan penghasilan hakim-hakim di negara lain. Bahkan, jika dibandingkan dengan penghasilan hakim di Malaysia yang mencapai Rp. 40 juta setiap bulannya, maka penghasilan hakim di Indonesia yang hanya Rp. 12 juta, tidak mencapai setengahnya.
Selama ini hakim selalu dituntut untuk selalu bekerja secara profesional dan mentaati kode etik. Namun, dengan kondisi seperti ini maka independensi hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan menjadi sangat terancam.
Sebab, hakim akan sangat rentan menerima suap. Hakim juga manusia biasa yang memiliki keluarga dan membutuhkan peningkatan kualitas pendidikan untuk dapat menunjang tugas pokoknya. Namun, dengan tidak terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari hakim, maka cita-cita untuk mewujudkan negara hukum melalui lembaga peradilan menjadi sulit tercapai.
Untuk itu, maka sudah sepatutnya kekuasaan kehakiman diberikan “hak budgeting” untuk mengelola dan mencukupi kebutuhannya sendiri.
Sebab, tanpanya adanya hak budgeting seperti institusi lainnya, maka kekuasaan kehakiman tidak akan dapat merdeka dari pengaruh kekuasaan yang lain.
Padahal, sikap kemandirian hakim dari campur tangan pihak manapun dan juga dalam bentuk apapin untuk menegakkan hukum dan keadilan terssebut telah ditegaskan dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945.
*) Penulis merupakan Hakim Pengadilan Agama Selatpanjang