METROPOLITAN.ID - Menteri Keuangan baru Indonesia, Purbaya Yudhi Sadewa, langsung menjadi sorotan publik setelah pernyataannya mengenai tuntutan rakyat 17+8 yang viral dan digaungkan berbagai kelompok masyarakat sipil, aliansi mahasiswa, serta netizen nasional.
Dalam konferensi pers pasca dilantik pada 9 September 2025, Purbaya Yudhi Sadewa mengaku belum mempelajari tuntutan tersebut secara mendalam.
Ia menyebut tuntutan 17+8 itu sebagai suara "sebagian kecil rakyat" yang merasa hidupnya kurang dan terganggu.
Baca Juga: 3 Faktor Kekalahan Timnas Indonesia U-23 dari Korea Selatan di Kualifikasi Piala Asia U-23 2026
Pernyataan ini memicu kritik luas dari publik yang menilai kurangnya empati dan sensitivitas dari Menkeu baru yang berperan sebagai bendahara negara.
Menanggapi kritikan begitu deras yang datang, Purbaya segera mengeluarkan permohonan maaf resmi dan klarifikasi.
Ia mengakui kesalahan dalam berkomunikasi yang terjadi karena belum terbiasa dengan budaya komunikasi publik di Kementerian Keuangan yang lebih ketat.
Ia juga menegaskan bahwa pernyataannya tidak bermaksud meremehkan suara rakyat, apalagi yang turun ke jalan.
Purbaya berjanji akan belajar dan memperbaiki diri agar lebih bijak dalam berbicara dan memberikan pernyataan publik.
Baca Juga: Reshuffle Kabinet Merah Putih: Mengapa Masih Ada 2 Kursi Menteri yang Belum Terisi?
Ia juga menegaskan komitmen untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 6-7 persen sebagai solusi jangka panjang yang diharapkan akan mengurangi keresahan sosial dan tuntutan demonstrasi.
Tuntutan 17+8 sendiri adalah serangkaian permintaan dari masyarakat dengan deadline jangka pendek yang mencakup berbagai hal seperti penarikan TNI dari pengamanan sipil, pembentukan tim investigasi kasus kekerasan masa demo, reformasi DPR dan partai politik, serta pemeriksaan anggota DPR bermasalah.
Selain itu, ada tuntutan perlindungan buruh, upah layak, dan dialog dengan serikat buruh, hingga reformasi sistem kepolisian dan penguatan Komnas HAM dalam jangka waktu hingga satu tahun.
Kejadian ini menjadi pelajaran penting bagi pejabat baru bahwa komunikasi publik yang sensitif sangat diperlukan, terutama di masa krisis sosial dan ekonomi.