METROPOLITAN - Seringkali kita mendengar bahwa feminisme itu tidak cocok dengan Indonesia. Saya bingung, bagian mana yang tidak cocok? Jika kita bernegara berlandaskan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, segala hal yang ada di dalamnya sangatlah feminis.
Ya memang, waktu perumusannya tidak melibatkan perempuan atau mungkin tidak ada. Namun, dari teks yang ada, saya rasa isinya mewakili setiap kelompok dan golongan. Pada sila-silanya, ada unsur feminisme yang dapat diuraikan. Yuk disimak…
Sila Pertama: Ketuhanan yang Maha Esa
Kita sering mendengar bahwa menjadi seorang feminis, maka otomatis tidak percaya Tuhan. Sebab, ia dianggap tidak mengikuti apa yang tersurat dan tersirat dalam kitabnya.
Padahal, interpretasi yang beredar adalah interpretasi yang misoginis, yang digunakan semata-mata untuk melegitimasi kepentingan dan kekuasaan terhadap perempuan.
Perihal Ketuhanan yang Maha Esa, kita harus dapat menafsirkan bahwa ketuhanan bukan semata-mata menyembah satu Tuhan. Dan, perlu juga dipahami bahwa berbagai individu menuhankan segala macam hal, mulai dari yang tidak terlihat maupun yang terlihat.
Bahkan, beberapa orang yang mengaku tidak bertuhan pun berpegangan pada temuan ilmiah yang dianggap esa, dimana mereka mempercayai bahwa ada yang lebih besar dari apa yang telah diketahui secara ilmiah.
Memahami keesaan juga memahami segala kebesaran dari apa yang kita percayai, baik itu Tuhan maupun hal-hal yang tidak disebut Tuhan – namun perilaku kita menuhankannya.
Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Gadis Arivia dalam bukunya ‘Filsafat Berperspektif Feminis’ menjelaskan bahwa ada kecenderungan para filsuf Barat mendefinisikan manusia menggunakan kata ‘man’. Itu seolah mewakili seluruh manusia.
Namun, tanpa disadari, mereka menomorduakan dan membuat perempuan bukan sebagai manusia yang sepenuhnya, sehingga lebih banyak penafsiran yang terkesan misoginis dan maskulinis. Itu tentu tidak sejalan dengan perempuan.
Perumus Pancasila pun menyadari bahwa demi mewujudkan peradaban yang adil, maka perlu melibatkan seluruh manusia. Mereka tidak memilih-milih bahwa keadilan hanya ditujukan kepada laki-laki.
Dengan demikian, perempuan yang juga manusia berhak diperlakukan dan memperlakukan sesama manusia secara adil dan beradab.
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia