Senin, 22 Desember 2025

Kenangan Menarik Kamp Kerja Paksa Di Tanggerang

- Selasa, 6 Juni 2017 | 12:55 WIB

Pernah, kata Tuba, ada salah satu tapol mengirim surat kepada keluarganya untuk mengirimkan berbagai jenis makanan. Karena ada larangan tak boleh memegang pensil, kertas ataupun alat tajam lainnya, waktu besuk dihentikan selama tiga bulan.

“Itu panjang sekali akibatnya. Itu tiga bulan besukan ngga masuk. Akhirnya hampir setiap hari orang mati, dua tiga. Terus aja. Kalau satu hari rata-rata dua, kalau tiga bulan 180 orang. Meninggalnya lapar, sakit,” terang Tuba.

Padahal, waktu besuk membantu mereka mendapat asupan makanan. Dan akibat penghentian besuk itu pula, setiap hari ada 2-3 tapol yang mati kelaparan.

Tuba dan tiga temannya lantas nekat. Demi bertahan hidup, dia mencuri beras dan panganan lainnya untuk tambahan makan para tapol.

“Jadi kalau ada panen, saya datang bertiga awas hati-hati musang datang, perketat penjagan. Saya lakukan tapi memang membantu teman-teman. Supaya fisiknya kuat. Mereka kan kurang makan. Bahkan air cuci beras kita godok dan bagikan dari teman-teman yang sakit,” ujar Tuba.

Sial, akibat mencuri beras, Tuba akhirnya dipindah ke penjara Salemba, Jakarta.

“Penjara Tanggerang tahun 1966 sampai 1970 selama 4 tahun bolak balik Salemba. Saya dituduh sebagai musang proyek yang selalu gerogotin musang proyek, ada ayam hilang, gabah hilang larinya ke saya. Ada 4 orang, Bambang, Bedjo, parijan dan saya,” ujar Tuba.

Pada 1971, Tuba dipindah lagi ke kamp Tangerang dengan alasan tenaganya dibutuhkan. Meskipun itu tak lama. Sebab pada 1973 dia dikembalikan ke Salemba, sebelum akhirnya dipindah ke Pulau Buru pada tahun yang sama. Barulah pada 1978, Tuba dibebaskan.

“Kemungkinan setelah diseleksi saya masuk golongan C adalah anggota aktif. Kalau golongan A terlibat langsung, B tidak telibat langsung tapi kepemimpinan. Golongan C anggota yang aktif. Golongan C ini yang susah. Untuk diadili tidak ada fakta, untuk dibebaskan pemerintah takut. Yang sulit diidentifikasikan.”

Bedjo Untung dijebloskan ke kamp karena aktif mengikuti pergerakan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), yaitu organisasi underbow PKI.

Sementara Tuba karena tergabung dalam Pemuda Rakyat, organisasi yang juga berafiliasi dengan PKI. Keduanya dimasukkan begitu saja ke kamp tanpa proses pengadilan. Hingga bebas, toh status mereka ET atau Eks Tapol.

Sementara itu, Bedjo yang kini berusia 69 tahun khawatir bukti sejarah penyiksaan akan turut menghilang digerus zaman. Padahal semestinya, generasi muda tahu bahwa ada ribuan manusia yang dibui tanpa tanpa diadili selama bertahun-tahun.

“Jadi dulu yang kamp kerja paksa dihilangkan, jadi masyarat ngga tahu, apalagi generasi sekarang. Untung saja saya masih hidup. Jadi bisa cerita,” ungkap Bedjo.

Bedjo dan Tuba berharap Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) segera mengidentifikasi bukti-bukti pelanggaran HAM masa lalu tersebut.

“Jadi mestinya Komnas HAM harus bisa mendeteksi paling tidak pertanda, bahwa di sini dulu ada kamp konsentrasi, bahwa generasi sekarang dulu ada tempat penyiksaan korban 1965. Kita mendesak Komnas HAM segera melakukan verifikasi observasi dan survei untuk ditindaklanjuti. Paling tidak tanda, kalau kuburan massal ada nisannya,” ujar Tuba.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X