Tahun 2017 Ali terpaksa meninggalkan desanya, seperti banyak orang lainnya, untuk menghindari aksi pembunuhan membabi-buta oleh milisi yang datang. Dia meninggalkan istrinya dan putra mereka yang masih bayi.
Beberapa malam kemudian, milisi menyeret Fatima dan perempuan lain. Banyak dari mereka yang bersembunyi di gubuk, terpaksa lari ke hutan.
Para milisi lalu memerkosa mereka, termasuk Fatimah berulang kali. Tidak ada yang mendengar teriakan dan jeritan mereka. Suami dan saudara-saudara mereka sudah mati atau melarikan diri.
Entah bagaimana, Fatima berhasil kembali ke desanya. Dia mendapat perawatan sebelum mati karena pendarahan parah. Namun dia kemungkinan tidak bisa memiliki anak lagi.
Dengan mertuanya, Fatima melarikan diri menyeberang sungai ke perbatasan Bangladesh. Organisasi bantuan internasional lalu membantu dia menemukan suaminya.
Tapi banyak lelaki Rohingya yang meninggalkan pasangan mereka setelah jadi korban perkosaan. Untungnya Ali tidak demikian.
“Saya tidak punya masalah untuk tetap bersama dia,” kata Ali. “Fatima tidak memilih nasib seperti yang dia alami,” tambahnya.
Fatima dan Ali tinggal di salah satu kamp ilegal Kutupalong, yang dibangun dengan cepat tahun lalu untuk menampung orang-orang yang terlantar yang mencapai jumlah ratusan ribu.
Konstruksi tempat tinggal mereka memang dimaksudkan sebagai tempat tinggal darurat, bukan sebagai akomodasi jangka panjang.
Fatima dan Ali memperkirakan, mereka akan tetap tinggal di sana untuk waktu lama.
Pemerintah Myanmar belum mengambil langkah-langkah untuk mengeluarkan dokumen resmi bagi warga Muslim Rohingya yang mengungsi atau mengijinkan mereka untuk pulang.
Tanpa dokumen yang sah, para pengungsi secara resmi adalah orang tanpa kewarganegaraan, dan tergantung pada belas kasihan pemerintah Bangladesh.
Keamanan untuk Perempuan
Di kamp-kamp penampungan pengungsi, para perempuan hampir tidak pernah meninggalkan pondok mereka, meski terik matahari musim panas, ketika suhu udara bisa mencapai 40 derajat celcius.
Di bawah koordinasi organisasi internasional, ada 19 rumah khusus perempuan yang tersebar di seluruh kamp. Di rumah-rumah khusus ini, para perempuan memiliki akses ke sarana medis. Ada toilet yang layak dan tempat untuk memandikan anak-anak.