UN idealnya adalah untuk melakukan asesmen terhadap sistem pendidikan, sekolah, geografi, maupun sistem pendidikan itu sendiri secara nasional. Selain itu, UN hanya menilai aspek kognitif saja, belum menyentuh karakter siswa secara holistik.
Perubahan yang dilakukan adalah dengan melakukan asesmen kompetensi minimum (AKM) dan survey karakter. Dengan AKM ini kita dapat memetakan kompetensi sekolah secara minimum. Materi AKM meliputi aspek kognitif yaitu literasi dan numerasi serta survey karakter.
Literasi bukan hanya kemampuan membaca saja, tetapi kemampuan menganalisa sesuatu di balik tulisan tersebut. Sementara kompetensi numerasi adalah kemampuan menganalisa angka dan matematika. Hal ini merupakan kompetensi minimum yang dibutuhkan murid untuk belajar apapun materinya apapun pelajarannya. Jadi bukan berdasarkan pelajaran.
Sementara survey karakter hal ini sangat penting. Selama ini kita tidak punya data bagaimana implementasi karakter diterapkan di sekolah. Kebahagiaan siswa, toleransi, perundungan serta kuatnya asas-asas Pancasila diterapkan di sekolah.
AKM akan diterapkan di tengah jenjang agar ada waktu bagi unit pendidikan untuk melakukan perbaikan. Kedua, tidak dapat digunakan sebagai syarat menuju jenjang berikutnya.
Serta inisiatif ketiga adalah penyederhanaan RPP. RPP yang selama ini ada 13 komponen menjadi tiga komponen saja.
Esensi dari RPP itu bukan berdasarkan penulisannya, tetapi proses refleksi dari guru tersebut, bukan menulis dengan tujuan administrasi belaka.
Yang terakhir terkait zonasi. Perubahan persentase untuk prestasi minimal 15 persen dan maksimal 30 persen. Zonasi bukan berarti pemerataan. Yang lebih mendesak adalah pada pemerataan kualitas guru.
Kebijakan merdeka belajar ini tentunya merupakan ikhtiar yang dapat kita lakukan untuk memajukan pendidikan bangsa ini. Kebijakan yang lahir dari keresahan para pemangku kepentingan pendidikan yang diformulasikan oleh tangan negara serta implementasi yang membuka ruang bagi masyarakat untuk bergotong royong dalam inisiatif memajukan pendidikan Indonesia.
Akhirnya, sebuah kebijakan hendaklah lahir dari permasalahan yang terjadi yang didiagnosa kemudian dicarikan solusi atau pengobatannya. Seperti proses pengobatan yang dimulai dari sebuah diagnosa, kesalahan diagnosa akan mengakibatkan kesalahan dalam proses pengobatan selanjutnya, maka kesalahan dalam menganalisis permasalahan pendidikan akan melahirkan kesalahan dalam pengambilan kebijakan.
Apapun itu, kita patut bersyukur jika kita tidak dapat mengobati seluruh penyakit pendidikan kita, minimal kita sudah mulai mengobati gejala-gejala yang kita temukan dalam dunia pendidikan kita.
Terakhir, penulis mengajak kepada segenap rekan-rekan guru untuk terus meningkatkan kompetensi kita sebagai guru karena sebaik apapun kurikulum dan kebijakan pendidikan pemerintah, akan sia-sia jika gurunya tidak memiliki kompetensi. Tetapi jika pendidiknya berkualitas dan memiliki kompetensi pendidikan, kita akan maju betapapun sederhananya kurikulum dan kebijakan pendidikannya. Karena kita sebagai guru adalah pengembang kurikulum sesungguhnya.
Selamat merdeka, merdeka belajar.
Belajar atau mati!
Penulis adalah Ahmad Fauzi, S.Pd, pegiat pendidikan dan tenaga pendidik di SMP Islam Plus Daarul Jannah Cibinong, Kabupaten Bogor.