Selain di jalur SSA, penertiban papan reklame jug dilakukan di wilayah lain. Namun JM menyebut pihaknya masih melakukan pemetaan reklame mana saja yang akan ditertibkan.
"Karena yang tidak mengurus izin akan menjadi loss potensi pajak. Khawatirmya jadi temuan BPK," ucap JM.
Dampak dari pembongkaran reklame di SSA ini Pemkot Bogor kehilangan pendapatan pajak sebesar Rp2,5 miliar. Meski begitu, Pemkot tak khawatir dengan adanya penurunan pendapatan pajak tersebut. Sebab Pemkot akan menerima pendapatan pajak yang lebih besar.
“Penggantinya luar biasa. Ada Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang opsennya (naik) hampir 400 persen. Informasi dari Samsat Kota Bogor akan dapat tambahan. Tadinya ada Rp 200 miliar lalu ada tambahan Rp 120 miliar,” beber JM.
Ia menegaskan kehilangan potensi pajak akibat penertiban reklame tidak akan menjadi masalah di Kota Bogor. Terlebih penertiban tersebut merupakan atensi dari Presiden Prabowo Subianto.
“Terpenting, Bogor jadi lebih bersih, indah, estetik. Akan kami ganti dengan pohon yang asri,” tegasnya.
Hingga saat ini sudah ada 13 reklame yang ditertibkan. Jumlah ini masih akan bertambah hingga akhir tahun nanti. Jenal menargetkan 52 reklame yang akan dipangkas di tahun 2025 ini.
Sementara itu, pengamat perkotaan Universitas Pakuan (Unpak) Bogor, Profesor Umar Mansyur mengapresiasi upaya Pemkot Bogor menertibkan reklame di jalur SSA. Namun, ia mengingatkan agar penegakan aturan dilakukan secara adil dan tidak diskriminatif.
“Perpanjangan izin dan penertiban billboard baru saya sangat sepakat. Tapi jangan pilih kasih, karena yang banyak justru billboard partai dan kampanye. Malah bukan billboard motivasi atau promosi bisnis Kota Bogor yang nampak,” kata Umar.
Ia menilai, saat ini warga Kota Bogor lebih membutuhkan papan reklame yang sifatnya edukatif dan inovatif. Menurutnya, reklame tidak hanya berfungsi sebagai alat promosi, tetapi juga bagian dari wajah kota yang mencerminkan nilai-nilai yang ingin ditonjolkan.
“Warga butuh billboard yang mengedukasi dan menawarkan inovasi. Jangan sampai ruang publik kita dipenuhi pesan-pesan yang justru tidak membangun,” ujarnya.
Selain soal reklame, Dosen S2 PWK ini juga menyampaikan pandangannya terkait penertiban pengamen jalanan. Ia mendukung karena keberadaan pengamen di jalan raya dinilainya bisa merusak citra kota dan menimbulkan gangguan bagi pengguna jalan.
Namun begitu, Umar mendorong pemerintah tidak hanya melakukan pendekatan represif. Ia menyarankan agar para pengamen diberikan ruang ekspresi di tempat yang lebih layak dan tidak mengganggu ketertiban lalu lintas.
“Misalnya di terminal bus, stasiun, alun-alun, atau seperti di Bukit Bintang, Kuala Lumpur. Ada bagian trotoar depan simpang pertokoan tempat mereka tampil. Masyarakat bisa menonton tanpa mengganggu lalu lintas,” jelasnya.
Dengan langkah ini, Umar yakin wajah Kota Bogor akan semakin tertata tanpa mengabaikan hak warga untuk berekspresi secara positif di ruang publik. (*)