guru-menulis

Ketika Bencana Jadi Panggung Petugas Partai Jadi Candaan dan Pelajaran Penting dalam Crisis Management Digital

Sabtu, 13 Desember 2025 | 20:00 WIB
Opini mahasiswa Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Korporat Universitas Paramadina, Hana Oktaviana. (dok.Pribadi)

Sebaliknya, humor memberi ruang ambiguitas: pesan kritik tetap sampai, tetapi dibungkus dengan candaan yang membuatnya lebih ringan dan lebih bisa diterima.

Di sinilah framing bekerja secara efektif karena humor tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga mengajak publik lain untuk melihat peristiwa melalui bingkai tertentu: bingkai ketidakselarasan antara citra dan empati.

Baca Juga: Liburan Tahun Baru Bareng Keluarga ke Subang? Ini 5 Waterpark Seru dan Murah yang Wajib Dikunjungi

Rangkaian dinamika ini menunjukkan bahwa dalam era digital, framing tidak hanya dilakukan oleh media arus utama, tetapi juga oleh warganet sebagai produsen makna.

Mereka tidak hanya memaknai peristiwa, tetapi mengonstruksi ulang makna tersebut melalui alat-alat visual yang bersifat partisipatif.

Kunjungan tokoh publik pun tidak lagi dinilai dari niat atau substansi tindakan semata, melainkan dari bagaimana tindakan tersebut ditangkap kamera dan diresepsi publik dalam ekosistem digital yang cepat dan penuh interpretasi.

Baca Juga: Menjaga Kesehatan Petugas Kesehatan di Sumatera

Dalam situasi seperti ini, strategi yang sesuai menurut SCCT meliputi respons empati dengan menunjukkan kepedulian yang nyata melalui bahasa tubuh dan pilihan kata, respons reflektif yang berfokus pada pemulihan kepercayaan publik melalui tindakan konkret, serta respons korektif dengan memperbaiki pola kunjungan seperti mengurangi elemen kamera, menghindari pose formal, dan memprioritaskan interaksi autentik dengan warga; tanpa langkah-langkah tersebut, publik akan terus memproduksi counter-narratives yang memperkuat frame negatif dan memperpanjang krisis reputasi.

Untuk memperbaiki dan meningkatkan reputasi, pejabat publik perlu memperkuat komunikasi visual agar tidak terkesan mengatur adegan, menerapkan pendekatan "silent empathy", melalui kehadiran yang lebih mendengar daripada berpose, menyampaikan klarifikasi yang tidak defensif dan mengakui sensitivitas publik, melibatkan pihak ketiga kredibel seperti relawan atau lembaga kemanusiaan, menggunakan komunikasi yang berpusat pada korban daripada tokoh publik, serta membangun narasi reputasi jangka panjang melalui konsistensi tindakan, transparansi, dan komitmen nyata.

Baca Juga: Eks Menpora Diduga Selingkuh dengan Davina Karamoy, Unfollow Akun Istri Sah?

Pada akhirnya, viralnya kritik terhadap kunjungan Zulkifli Hasan dan Verrell Bramasta memperlihatkan bahwa Framing Theory sangat relevan dalam membaca dinamika komunikasi kontemporer.

Apa yang tampak sederhana sekumpulan foto kunjungan lapangan bisa berubah menjadi konstruksi sosial baru ketika warganet memilih frame tertentu sebagai penafsiran dominan.

Bagi pejabat publik, hal ini menjadi pengingat bahwa komunikasi di ruang bencana membutuhkan kepekaan bukan hanya secara substansial, tetapi juga secara simbolik.

Dalam era ketika setiap gestur dapat menjadi bahan framing, kehadiran yang tidak selaras dengan suasana emosional publik dapat dengan cepat menghasilkan interpretasi baru yang menyebar luas dan membentuk opini kolektif.***

Halaman:

Tags

Terkini

OPINI: Inovasi atau Anomali Haji?

Rabu, 19 November 2025 | 21:05 WIB

Pahlawan Hari Ini

Senin, 10 November 2025 | 09:27 WIB

UMKM Naik Kelas

Selasa, 30 September 2025 | 20:36 WIB